Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fungsi Bicara Zaman ini

3 September 2020   09:56 Diperbarui: 3 September 2020   10:19 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Supartono JW


Beberapa hari ini, saya gelisah. Pasalnya kok bisa ada warganet yang menulis seperti ini:"Dulu membela wong cilik, kini menjadi wong licik?"

Itulah sekurangnya sebuah kalimat yang saya kutip "bebas" dari sebuah komentar netizen di kolom komentar sebuah artikel di media online., mengapa sampai ada netizen yang berkomentar yang inti maksudnya seperti demikian?

Yang pasti, komentar itu menjadi tertulis, akibat dari sebuah tayangan artikel yang menuliskan berita yang isinya mengutip pembicaraan seseorang tokoh nasional. Dan, kira-kira ada berapa juta komentar sejenis di kolom komentar media massa kita? Lalu, dengan komentar-komentar seperti demikian, mengapa khususnya media online malah tak melakukan moderasi dan seleksi hingga komentar malah terus mendapat tempat terhormat padahal sangat memicu disintegrasi bangsa. Adakah ini memang menjadi bagian dari sebuah "sandiwara?"

Munculnya komentar akibat hasil dari sebuah pembicaraan  tersebut, saya jadi teringat peribahasa "Mulutmu Harimaumu" yang bila dimaknai bisa berarti segala perkataan yang terlanjur kita keluarkan apabila tidak dipikirkan dahulu akan dapat merugikan diri sendiri.

Betapa luar biasanya apa yang terjadi di Republik ini,  sebuah pembicaraan meski hanya sebuah kata atau kalimat atau paragraf hingga opini, mau ke luar dari mulut seorang tokoh, elite partai, pemimpin partai, tokoh parlemen, tokoh pemerintahan, pakar, pengamat, akademisi, hingga rakyat jelata, semuanya akan sangat mujarab menjadi pemicu masalah di NKRI setelah "digoreng" oleh berbagai pihak, terutama oleh media massa.

Rakyat antara sadar dan tidak

Adakah rakyat Indonesia menyadari bahwa akibat sebuah pembicaraan, kini telah berimbas tajam kepada etika, tata krama, sopan-santun, budi pekerti luhur yang terbungkus dalam satu kata "karakter" selalu menjadi kebanggaan bangsa ini, bukannya tambah meningkat sesuai cita-cita dan janji pemimpin kita, sebaliknya malah semakin merosot dan sangat signifikan mengalami kemunduran?

Setali tiga uang, dunia pendidikan yang diharapkan menjadi penyelamat keterpurukan sekaligus mampu mengentaskan karakter dan mental rakyat Indonesia, justru selalu terganggu oleh tindak tak teladan dan tak panutan dari para elite partai serta para pemimpin bangsa yang semakin gila menjadi penguasa untuk diri, keluarga, kolega, dan junjungannya terutama dengan senjata "mulutnya" alias lisan alias bicaranya?

Tidak perlu saya ungkap, rakyat Indonesia pasti paham, sejak kapan kemerosotan dan kemunduran karakter yang sangat tajam ini terjadi di Indonesia akibat "Mulutmu Harimaumu" yang memang diciptakan dan dibuat skenarionya oleh para cerdik pandai yang "licik", lalu diaplikasikan di tengah rakyat hingga rakyat terus terbelah dalam jurang perseteruan dan perpecahan yang semakin dalam karena memang ada tujuan.

Atas kondisi ini, terutama di tengah pandemi corona yang semakin ganas dan jelang Pilkada yang menganga "terbaca" siapa yang ingin terus mencengkeram dan menguasai Ibu Pertiwi, saya mengajak pada diri sendiri dan siapa saja yang ingin Indonesia kembali tak "terjajah", marilah menempatkan diri menjadi rakyat sejati. Jaga lisan kita agar tidak semakin memperkeruh suasana. Tahan dan sabar, jangan terpancing provokasi yang sengaja ditebar oleh "suatu pihak" baik di dunia maya, medsos, maupun di media massa.

Ingat, Indonesia terkini sedang dalam kondisi tak biasa dan situasi ini, pun sejatinya mungkin memang sengaja dicipta.

Namun, sebagai rakyat Indonesia sejati, barangkali saya dan kita semua dapat membantu dengan memulai dari "bicara yang benar".

Sebab, tanpa disadari, bicara itu kini sangat signifikan menjadi "kendaraan" para "wong licik" yang ingin mencapai tujuannya demi tahta dan kekuasaan.

Berbicara kini menjadi salah satu kekuatan komunikasi yang efektif untuk sebagian kalangan. Meski beberapa kalangan menyadari bahwa melalui berbicara, maka kata yang keluar dari mulut tidak dapat ditarik kembali.

Melalui kendaraan pembicaraan, sesorang juga sengaja dengan perkataannya untuk tujuan membuat orang lain atau lawan sakit hati.

Bicara dengan perkataan yang diskenario, juga banyak ditujukan agar orang lain dan berbagai pihak bertengkar dan berseteru.

Bicara juga kini ditujukan untuk mencari pengikut dan simpatisan, karena dengan bicara yang meyakinkan, meski untuk "licik" rakyat tetap.akan ada yang terperdaya.

Orang-orang cerdik-cendekia, saat bicara akan melihat dan tahu kondisi bicaranya untuk siapa, lawan bicaranya siapa, dan akan menunjukkan kualitas dirinya.

Namun, orang-orang cerdik nan licik, tak akan memandang mereka bicara untuk siapa dan siapa lawan bicaranya.

Meski demikian, kini banyak pula orang-orang yang "bermuka dua/betopeng", namun perilaku bicaranya bak cerdik-cendekia, padahal isi pikiran dan hatinya, cerdik dan licik. Inilah yang sangat berbahaya. Sebab kelompok ini, malah biasanya sangat dekat dan ada di sekitar kita. Waspadalah. Tutur bicara itu sangat mujarab "memperdaya" dan menjadi/dijadikan "senjata".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun