Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ini Zaman Mengangkat Diri dengan Pujian, Menghujat Lawan dengan Cacian

24 Agustus 2020   00:25 Diperbarui: 24 Agustus 2020   01:53 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengangkat diri dengan pujian, menghujat lawan dengan cacian adalah pelajaran yang tak pernah ada dalam Kurikulum Pendidikan Indonesia. (Supartono JW.24082020)

Kita tentu tak asing dengan ungkapan "jangan terbang karena pujian, jangan tumbang karena cacian." Ungkapan tersebut sering digunakan sebagai motivasi bagi seseorang demi tetap semangat dan termotivasi untuk mencapai tujuan atau cita-cita dalam kehidupan, baik bagi yang berhasil maupun yang gagal.

Sebab, dalam kenyataannya, memang banyak manusia yang lupa diri saat menerima puja dan puji karena kehebatan dan keberhasilannya, lantas "terbang". Sebaliknya, saat seseorang mengalami kegagalan dan keterpurukan, maka seringkali malah akan menerima hinaan dan cacian, lantas terpuruk dan malah tenggelam.

Itulah kehidupan yang normal dan terjadi umumnya di tengah masyarakat dan khususnya di dalam parlemen maupun pemerintahan di seluruh negara di dunia ini.

Namun, khususnya di Indonesia, selama 75 tahun Indonesia telah lepas dari belenggu penjajahan kolonialisme, ternyata selama 75 tahun pula, rakyat Indonesia belum benar-benar "merdeka".

Bahkan sejak hadirnya reformasi, dalam dua periode kepemimpinan yang kini sedang berjalan, rakyat Indonesia justru kembali dijajah dengan sangat kental oleh partai yang kini menguasai Indonesia dan para elite politiknya.

Bahkan bisa jadi, lebih tirani dari kepemimpinan sebelumnya, namun dalam "bungkus" yang berbeda. Sebab, rakyat masih tetap dan terus merasakan kekuasaan yang sewenang-wenang, karena diperintah Presiden yang bak raja dan bertindak sekehendak hatinya, serta terus melahirkan kebijakan yang mensejahterakan "siapa?"

Lebih miris lagi, dalam dua periode pemerintahan sekarang, seluruh rakyat seperti terhipnotis oleh keberadaan partai yang berkuasa dan para elite partai yang jadi pemimpin baik di parlemen maupun pemerintahan.

Rakyat pun bertanya, kira-kira partai itu akan berkuasa sampai kapan? Sebab bukan hanya kursi parlemen dan pemerintahan pusat yang dikuasai, namun seluruh pemerintahan daerah pun ingin dikuasainya.

Lebih mencolok lagi, kini partai itu dengan para elite politik yang menguasai parlemen, pemerintahan pusat dan daerah juga terus saling membahu menjinakkan hati para pengagumnya, demi terus mempertahankan "kekuasaannya".

Bahkan demi menjaga, melindungi, mengamankan, dan mempertahankan kekuasaannya, dengan anggaran negara sampai menghamburkan uang rakyat demi membayari para aktor influencer dan buzzer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun