Sandiwara di dalam sandiwara. Itulah yang  dapat saya ungkap menyoal peristiwa yang akan terjadi di negeri ini pada saat Upacara Perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-75 di Istana Negara, Senin, 17 Agustus 2020.Pasalnya, belum lagi upacara berlangsung, masyarakat republik ini malah sudah diguyur informasi yang sangat kental muatan politisnya, yaitu tentang rencana penganugerahan Bintang Mahaputra Nararya dari Presiden Jokowi.
Pertanyaan sederhananya, apakah anugerah itu memang harus digembor-gemborkan dan media massa lalu mempublikasikannya, sehingga menjadi polemik dalam masyarakat?
Inilah sandiwaranya. Sementara, bila rencana penganugerahan tidak bocor ke publik melalu media massa yang sudah dipesan untuk menyiarkan dan memancing kehebohan di tengah masyarakat saja, sudah sangat kental skenario sandiwaranya. Jadi, inilah peristiwa sandiwara di dalam sandiwara.
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, dan khususnya bagi para pengamat, praktisi, akademisi, hingga politisi, sampai lembaga survei semuanya pun jadi latah "berbunyi" karena sandiwara yang dicipta Jokowi.
Siapa yang tidak mengenal sosok dan sepak terjang Fahri dan Fadli. Bahkan dalam setiap kemunculannya baik dalam layar kaca mau pun pemberitaan media massa selalu menyulut masalah dan menjadi bulan-bulanan pemuja Jokowi.
Ada apa di balik rencana penganugerahan ini, sebab bila dipikir secara positif dan obyektif pun memang tetap jauh dari masuk akal, penghargaan tersebut layak disematkan kepada dua sosok ini.
Pemikiran lebih positif dan logis pun beredar bahwa rencana Jokowi ini sejatinya lebih ditujukkan untuk menarik kedua orang ini ke dalam gerbongnya sekaligus membungkam dan menjinakkannya, karena dari keduanya, pendukung Jokowi kerap menjuluki sebagai "Si Mulut Nyinyir" Â dan "Si Pencari Panggung" karena tak dikasih kursi oleh Jokowi, namun berlebihan dan tak memenuhi syarat penerima anugerah itu.
Lebih jauh coba saya lansir pendapat dari salah satu Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie dalam SINDOnews, Rabu (12/8/2020) yang menyatakan bahwa, rencana penganugerahan Bintang Mahaputra Nararya dari Presiden Jokowi kepada mantan pimpinan DPR Fahri Hamzah dan anggota DPR Fadli Zon dianggap penghargaan politis, pasalnya ada banyak penemu atau ahli yang lebih layak dapat penghargaan tersebut.
Apakah ada kaitannya dengan Fahri yang sudah merapat ke Istana beberapa waktu lalu menemui Jokowi dengan membawa Partai Gelora yang didirikan bersama eks mantan Politikus PKS lainnya?
Atau karena telah menjadi ketua atau wakil DPR lalu layak dikasih penghargaan?
Rakyat pun bersuara bahwa masih banyak putra bangsa yang sudah mengaharumkan nama Indonesia tapi justru mereka tak meraih penghargaan ini. Namun, prestasi "nyinyir" malah jadi modal dan perhitungan Jokowi untuk memberikan penghargaan kepada keduanya. Pertanyaannya apakah ini muncul dari ide murni Jokowi? Sayangnya Jokowi pun masih harus tunduk kepada "junjungan" yang lebih tinggi.