Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini Literasi Model Baru, Cukup Baca Judul, Abaikan, dan Merasa Tahu

26 Juni 2020   14:59 Diperbarui: 26 Juni 2020   15:07 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari ini, pendidikan pada umumnya mengasah manusia untuk memiliki empat R kemampuan untuk mengatasi masalah yakni Reading, wRiting, aRitmethic dan Reasoning. Literasi adalah bagian dari membaca, menulis dan berpikir kritis yang diharapkan muncul melalui pendidikan.

Sayang, jangankan literasi masyarakat yang belum berpendidikan akan terangkat, faktanya masyarakat berpendidikan dan berpendidikan tinggi saja masih banyak yang tak memiliki kemampuan literasi dan mereka hanya banyak berkamuflase seolah menjadi masyarakat yang berliterasi.

Sebagai contoh, dimusim pademi corona, tampil di depan media online seperti zoom, latar belakang atau backdropnya adalah rak buku, padahal kenyataannya buku-buku yang ada di rak hanya menjadi asesoris agar terlihat sebagai kaum terdidik dan terpelajar.

Lebih memiriskan hati, di tengah literasi bangsa ini yang terpuruk, jangankan membaca buku, menonton berita aktual di televisi saja malas.

Terlebih membuka berita/artikel/opini/video dll di dalam grup whatsapp yang dikirim anggota lain. Paling-paling hanya melihat di grup ada yang share ini atau itu, bila judulnya menarik, maka tak perlu membuka dan membacanya, malah sok tahu langsung meneruskan dan membagi kepada orang lain atau grup lain.

Sungguh, harus dengan cara bagaimana membuat masyarakat kita "melek" literasi. Sebelum zaman digital hadir, membaca buku malas, membaca koran "ogah", acara berita atau ilmu pengetahuan di televisi diganti chanel.

Ada Perpustakaan dan Taman Bacaan, tapi bagi masyarakat perpus dan taman bacaan juga konotasinya hanya membaca, jadi hanya dengar kata perpus dan taman bacaan saja sudah "boring".

Harus ada paradigma baru menyoal perpus dan taman bacaan di Indonesia yang sudah tak menjadi daya tarik masyarakat. Untuk apa ke perpus dan taman bacaan, buka internet dari handphone saja, apa yang kita butuh tinggal klik.

Hingga saat ini, bicara perpustakaan dan buku bagi masyarakat hanya dibutuhkan saat mereka butuh mencari referensi untuk menyusun karya tulis, karya ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, hingga tugas-tugas untuk ASN dan PNS menyusun tugas demi kenaikan pangkat dll saja karena butuh buku sebagai rujukan dan kerangka teori.  Jadi, bagi masyarakat yang tidak memiliki kewajiban dan kepentingan seperti itu, perpus apalagi taman bacaan tak ada urgensinya.

Pertanyaannya, berapa jumlah rakyat Indonesia yang sudah mengenyem pendidikan di banding yang belum? Tak usah saya sebut prosentasenya, yang pasti perbandingannya masih sangat memiriskan hati. Maka, pantas saja, literasi rakyat bangsa ini terus terpuruk.

Yang terdidik saja masih banyak yang tak mampu dan tak mumpuni dalam literasi secara utuh, yaitu belum mampu memiliki keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari sesuai disiplin ilmunya, apalagi disiplin ilmu lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun