Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demokrasi adalah Mendengarkan Suara Rakyat dan Melaksanakannya

24 Juni 2020   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2020   12:25 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Saat masih menjadi calon presiden, Bapak Joko Widodo menegaskan, republik ini harus memberikan kehidupan yang lebih baik untuk rakyat serta mensejahterakan rakyat. 

Bagi Jokowi, demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya."Harapan rakyat adalah ingin agar negara menjadi maju serta rakyat menjadi sejahtera," ujar Jokowi dalam Debat Capres-Cawapres di Balai Sarbini, Jakarta, Senin (9/6/2014) yang juga dilansir dan terpublikasi di berbagai media massa nasional.

"Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya." (Joko Widodo).

Saat saya kembali mengingat kata bijak enam tahun lalu tersebut, yang diungkap oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), kini sebagai Presiden ke-7 Indonesia, dan sekarang sedang menjabat di periode ke-2, maka saya langsung berpikir menyoal kondisi rakyat Indonesia sekarang.

Menjelang usia ke-75 tahun, hingga kini Negara Republik Indonesia (NKRI) telah dipimpin oleh tujuh Presiden, ternyata masih "nyaring" jerit penderitaan rakyat.

Terlebih, saat dunia dan Indonesia diserang wabah pandemi corona. Rakyat Indonesia semakin nyata bergelimang kesusahan dan penderitaan. 

Tetapi, lagi-lagi di tengah wabah pun, Negara masih dirasakan belum hadir untuk rakyat, karena pemimpin yang diharapkan membuat rakyat hidup sejahtera, malah asyik masyuk dalam program dan tujuannya sendiri, untuk kepentingan diri, kelompok, dan golongannya, bahkan demi mengabdi dan mengikuti kemauan para "cukong".

Lebih miris, berbagai bentuk kebijakannya pun malah semakin membuat rakyat semakin tertekan dalam penderitaan yang tak berujung dan akibatkan berbagai ketimpangan di tengah rakyat pun seolah sudah menjadi orkestra yang lazim.

Siapa yang akan menyangkal bila kondisi rakyat Indonesia masih penuh ketimpangan? Sektor mana yang sudah dapat dikatakan duduk di tempatnya dan tak timpang?

Pendidikan timpang, sosial timpang, ekonomi timpang, kesehatan timpang, kesejahteraan timpang, tata kelola timpang, dan lain sebagainya hingga kekuasaan politik pun timpang. Semua ketimpangan ini terus terjadi karena apa? Karena pemerintah dan parlemen yang dari, oleh, dan untuk rakyat, namun praktinya jauh dari amanah.

Ironisnya, berbagai ketimpangan yang terus didera rakyat, bukannya menjadi prioritas utama untuk diatasi, namun rakyat yang terutama masih jauh dari pendidikan dan literasi, malah terus disuguhi drama-drama kehidupan yang isinya hanya skenario bangunan cerita seputar kepentingan Istana, pemerintahan, dan parlemen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun