Diberhentikannya delapan karyawan yang berada di bawah Kesekjenan PSSI, menjadi berita hangat di media massa Indonesia sejak Sabtu, (6/6/2020). Bahkan ada media yang memberi judul pertanyaan, PSSI Mau Apa?
Beberapa media pun mengungkap, bahwa pada Jumat (5/6/2020) malam WIB, delapan karyawan yang berada di bawah Kesekjenan PSSI, tiba-tiba mendapat email pukul 23.00 WIB yang berisi pemutusan hubungan kerja (PHK). Di antaranya, Ronny Suhartil (Direktur Kompetisi), Nugroho Setiawan (Kepala Departemen Infrastruktur, Keamanan, dan Keselamatan), dan Gatot Widakdo (Kepala Hubungan Media dan Digital).
Lalu, Efraim Ferdinand (Kepala Departemen Perwasitan), Tito Nugraha (Kepala Konten Digital), Donny Fachroci (Kepala Departemen Timnas), Rais (Kepala Bidang Event dan Hospitality), dan Jaka (staf Departemen Keuangan). Apa yang menjadi perkara, sehingga depalan karyawan tersebut di PHK? Jawaban yang banyak di ulas di media  adalah karena alasan efisiensi.
Resistensi yang klasik, bongkar
Persoalan PSSI, terutama menyoal personal yang duduk dalam wadah organisasi ini, sepanjang PSSI diberdiri, memang memiliki sejarah klasik, yaitu persoalan resistensi.
Resistensi dalam sebuah organisasi PSSI, selama ini sangat nampak dalam kepengurusan yang bersikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan, menentang atau upaya oposisi, sebab, berlindung dan terlindungi "dewa" bernama Statuta.
Akibatnya, meski sudah berusia 90 tahun, organisasi PSSI tetap nir prestasi. Hebatnya lagi, para pengurus yang selalu berlindung dan mengagungkan Statuta PSSI yang mereka rancang dan selalu di amandemen oleh dan untuk "mereka" sendiri, tanpa mau peduli bahwa PSSI membawa amanah kepentingan publik sepak bola nasional, dan membawa nama baik bangsa dan negara.
Selama ini, di tangan para pengurus yang dipilih oleh voter yang juga hasil dari sebuah "settingan" permafiaan karena dengan kekuatan abadi bernama statuta, yang dipikir oleh "mereka" adalah kepentingan "mereka" dan PSSI benar-benar kendaraan milik mereka saja.
Itulah sebabnya, siapa pun pengurus baru yang coba masuk dalam gerbang organisasi PSSI, selalu "mental" digusur oleh para mafia yang terus berlindung di balik statuta.
Siapa pun pengurus PSSI yang baru, lalu akan coba-coba menyingkirkan kelompok gerbong "mafia" ini, meski untuk kepentingan nama baik dan prestasi bangsa dan negara, serta publik sepak bola nasional, pasti akan dikepung oleh "mereka", lalu juga akan sangat mudah disingkirkan baik secara taktik, intrik, dan politik, pun melalui jalur "kudeta", karena pedoman "mereka" adalah "dewa statuta".
Kini, di tangan Ketua Umum PSSI yang baru, saya melihat, amanah publik sepak bola nasional untuk menjadikan organisasi kepada marwah yang benar, sedang diusung.