Disadari, pertama, masih banyak masyarakat yang tidak membaca dan memahami penjelasan para ahli tentang bahaya virus corona. Faktanya, jangankan berpikir untuk orang lain, untuk diri dan keluarganya juga abai.Â
Berdesakan di pasar atau mal, bapaknya menggendong anak yang balita, semetara ibunya menggandeng anak yang lain, pun tanpa mengunakan masker.Â
Kedua, di antara kerumunan dan berjubelnya masyarakat di pasar dan mal, yakin juga ada masyarakat yang sudah membaca, sudah menonton dan sudah mengetahui betapa bahayanya virus corona, namun karena mereka melihat masyarakat lain juga beraktivitas begitu bebas dan terlihat biasa-biasa saja, aman-aman saja, tidak ada masalah, maka masyarakat yang paham pun ikut berbaur, ikut meniru, dan ramai-ramai melanggar PSBB.Â
Ketiga, Sangat dihafal oleh masyarakat Indonesia yang patuh, masyarakat yang masih abai ini, bukannya tidak tahu dan tidak memahami aturan PSBB dan betapa bahayanya virus corona, tetapi masyarakat golongan ini adalah masyarakat yang mengedepankan paradigma, "hidup dan mati, Allah yang mengatur".Â
Untuk kelompok ini, terbukti hingga sekarang paling sulit untuk patuh, sulit diperingati, sulit dinasihati, apalagi kalau ditegur, semisal tidak pakai masker, maka akan berbalik marah dan tersinggung kepada si penegur baik itu petugas maupun masyarakat awam.Â
Bahkan sudah tak terhitung, kelompok masyarakat seperti ini sampai tak berpikir panjang dan melakukan tindak kekerasan, seperti menendang hingga memukul karena tak terima ditegur.
Keempat, sangat menonjol juga adanya kelompok masyarakat yang masih belum rela dan belum mau melepas kebiasaan tradisi dan budaya menjelang Lebaran, yaitu berbelanja, meski dalam kondisi sulit dan pandemi corona.Â
Kelima, masalah lain, yang juga hampir sama di seluruh Indonesia, selain masyarakat baru mendapatkan gaji dan THR, masyarakat lainnya juga rata-rata baru mengantongi uang dari BLT, bantuan sosial Covid 19.Â
Jadi, bila disimpulkan, saya melihat dalam diri masyarakat ada lika jenis paradigma, mengapa masyarakat tetap menjejali pasar dan mal, yaitu pertama kelompok masyarakat yang tidak tahu/tidak paham. Kedua, masyarakat yang tahu, tapi abai karena melihat masyarakat lain aktivitas seperti biasa. Ketiga, masyarakat yang berpedoman, hidup mati, Allah yang mengatur. Keempat, masyarakat yang tak mau melepas tradisi Lebaran, dan kelima tetap memaksa belanja karena punya uang.Â
Di luar dari persoalan pada masyarakat sendiri, hampir di semua wilayah Indonesia, semua aparat dan petugas yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk menghalau masyarakat agar kembali ke rumah, nampaknya seragam tak dilakukan.Â
Hal ini kontradiksi dengan apa yang dilakukan oleh aparat dan petugas di pintu-pintu chekpoint larangan mudik, yang hampir seragam pula mampu menghalau para pemudik yang coba memaksakan diri dan berhasil di buat putar balik.Â