Tradisi dan budaya yang baik, menjadi buruk bila melanggar peraturan.Â
(Supartono JW.21052020)Â
Ibadah Ramadan Tak Biasa kini sudah memasuki hari ke-28, di fase keistimewaan 10 hari terakhir (dijauhkan dari api neraka).Â
Meski dalam pandemi corona dan dalam peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ternyata tradisi belanja Lebaran tak dapat dihentikan. Dalam seminggu terakhir, di sejumlah kota besar seolah sedang tak ada PSBB, masyarakat justru berbondong menggeruduk pasar tradisionil dan mal.Â
Semua kepadatan dan berjubelnya pasar dan mal terus tersiar di berbagai media dan tersorot kamera televisi. Bahkan di grup-grup media sosial, juga berseliweran video-video tentang padatnya pasar dan mal yang dijejali oleh pengunjung, baik ibu-ibu, bapak-bapak, ibu dan bapak dan anaknya, hingga anak-anak muda.Â
Semua bersatu berhimpitan di pasar dan mal secara normal.Â
Mirisnya, meski dalam PSBB, mal tetap buka, karena ternyata mengantongi izin. Namun, hampir di semua manajemen mal terlihat mengabaikan protokol kesehatan yang menjadi syarat operasional PSBB.Â
Sejatinya, bila pasar dan mal tetap buka dan mengabaikan prasyarat dan protokol kesehatan sesuai PSBB, namun masyatakat memiliki kesadaran dan mampu mengendalikan diri untuk tetap di rumah, maka pasar dan mal dipastikan akan tetap sepi pengunjung.Â
Jadi, masalahnya sebenarnya ada pada masyarakat yang tetap tak rela Lebaran tanpa tradisi baju baru dan lainnya. Selain itu, juga ada hal mendasar yang masih sangat menonjol, yaitu kecerdasan intelegensi dan personaliti masyarakat yang masih rendah.Â
Rendahnya kecerdasan intelegensi dan personaliti masyarakat ini, akhirnya menjadikan masyarakat tidak memahami dan mengabaikan  situasi dan kondisi di lapangan, yaitu pasar dan mal.Â
Paradigma masyarakat, langgar PSBB