Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setop Posting yang Membikin Masyarakat Panik, Takut, dan Khawatir

28 Maret 2020   06:49 Diperbarui: 28 Maret 2020   06:54 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: doc.Supartono JW

Antisipasi pencegahan, dan penanganan virus corona oleh pemerintah Indonesia sudah salah sejak awal hadirnya wabah ini. Bahkan pertimbangan menyangkut karakter masyarakat Indonesia yang berbeda dengan negara lain, seperti tak pernah diperhitungkan oleh pemerintah. 

Rentetan artikel menyoal corona sudah saya tulis di media ini. Khusus untuk karakter masyarakat Indonesia, sudah saya ungkap tentang ketimpangan pendidikan, ketimpangan sosial, ketimpangan ekonomi yang kesimpulannya mengerucut kepada masih sangat lemahnya kecerdasan emosi sebagian besar masyarakat Indonesia. 

Kecerdasan emosi ini akarnya juga dari tak cerdas intelegensi dan tak cerdas personaliti. Parahnya, pemimpin negeri dengan pemerintahan Indonesia pun boleh dibilang setali tiga uang dengan kondisi masyarakat. 

Bagaimana tidak, saat virus sudah mulai berpandemi dari Wuhan ke negara lain, saat itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menanggapi penelitian Harvard Univesity yang menyatakan bahwa virus corona mungkin telah masuk ke Indonesia, tapi tak terdeteksi. 

Kemenkes justru menilai bahwa penelitian yang dilakukan ahli dari Harvard itu merupakan model matematika melalui volume penerbangan antara Wuhan dan 26 negara lainnya. Karenannya Kemenkes menyebut kalkulasi itu belum bisa dipastikan kebenarannya. 

Coba apa yang diucapkan Kemenkes kepada awak media saat itu? "Saya sudah baca penelitiannya. Penelitian Harvard itu model matematika untuk memprediksi dinamika penyebaran novel corona virus berdasarkan seberapa besar orang lalu lalang," ujar Kepala Badan Litbang Kesehatan Kemenkes Siswanto di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (10/2/2020). 

Betapa sok tahunya Siswanto saat itu. Bahkan Siswanto juga menambahkan ke-sok tahu-annya, bahwa apabila mengikuti model penelitian ahli Harvard itu, seharusnya sudah ada 6 hingga 7 kasus virus corona di Indonesia. 

Namun, Siswanto memastikan bahwa hingga kini belum ada masyarakat Indonesia yang terpapar virus asal Kota Wuhan, China, itu. 

Inilah awal muasal mengapa kini pandemi corona terus merajalela. Sebab, para ahli dari berbagai negara pun memastikan bahwa, sebelum Presiden Jokowi mengumumkan kasus positif corona 1 dan 2 di Indonesia, sebenarnya kasus corona sudah menyebar di Indonesia, namun tidak mampu dideteksi oleh pemerintah. 

Bersamaan dengan kondisi penyebaran yang tidak mampu mendeteksi, pemerintah Indonesia pun tak ada upaya pencegahan dan melindungi masyarakat dengan tetap longgar masuk keluarnya WNI atau WNA dari dan ke luar negeri baik melalui Bandara maupun pelabuhan.

Setelah virus akhirnya terdeteksi, Presiden pun tetap kukuh bak Raja, yang tetap memerintahkan kepada daerah bahwa lockdown hanya ada di tangan pemerintah pusat karena menyadari "ketimpangan" masyarakatnya. 

Kini apa yang terjadi? Masing-masing daerah, kampung-kampung akhirnya mengambil keputusan lockdown sendiri-sendiri, karena hanya dengan cara itu, penyebaran virus dapat dicegah. 

Masyarakat Indonesia tak mempan hanya diimbau, tapi butuh tetap makan. Masyarakat Indonesia tak mempan diimbau agar jangan mudik, namun di saat masa sulit penuh ketidakpastian ini, pilihan berkumpul dengan keluarga ternyata lebih penting dan tidak menyadari bila sikapnya justru malah menambah dampak besar terhadap penyebaran virus corona. 

Yang lebih memprihatinkan, terkait ketimpangan pendidikan dan lemahnya kecerdasan intelegensi, personaliti, dan emosi, kini masyarakat Indonesia semakin mencolok perbedaannya dengan masyarakat di negara lain. 

Sudah berkali-kali saya ungkap bahwa masyarakat Indonesia sebelum virus corona datang saja sudah sangat latah turut berbagi dan menyebarkan informasi khususnya melalui media whatsapp. Baik informasi dalam bentuk artikel/berita/tulisan pribadi/foto/gambar/video/dll. 

Parahnya, karena kondisi ketimpangan berbagai itu, setiap hal yang dibagi atau disebarkan, tak terlebih dahulu dipahami, di ricek, dibaca, dilihat dari awal sampai akhir. 

Lalu, banyak masyarakat yang tak mampu mempertimbangkan apakah informasi itu layak di sebarkan atau tidak. Pikirannya sangat pendek. Latah. Sok tahu dll. Sangat menggemaskan dan memprihatinkan. 

Kini, sikap masyarakat di dalam dunia whatsapp, dalam situasi corona semakin tak terkendali. Sampai-sampai, ada rakyat Indonesia yang belajar (kuliah) di Wuhan, menulis keprihatinannya terhadap sikap tak cerdas masyarakat Indonesia terutama menyoal perilaku dalam dunia whatsapp yang juga viral.

Seseorang ini menulis, "Di sini (wuhan) kami sangat cepat untuk bangkit (recovery), karena kami saling menyemangati. Kami tidak memberitakan berita kematian, yang kami beritakan adalah berita kehidupan dan berita kesembuhan. 

Lalu mempertanyakan kenapa Iren, netizen di Indonesia lebih memilih memberitakan berita ketakutan? Apakah mereka memang ingin membunuh saudaranya sendiri? Mahasiswa ini menumpuk harapan kepada masyarakat Indonesia agar mulai saat ini kita hanya memberitakan berita yang penuh harapan, berita yang menenangkan, berita kehidupan. 

Kemudian membantu tim medis yang sudah sedemikian lelah, untuk berhenti membuat postingan-postingan yang berkonten menakut-nakuti membuat orang khawatir dan panik. 

Sebagai akhir tulisannya, mahasiswa ini mengungkapkan bahwa kekhawatiran berlebih akan menurunkan imun tubuh lebih cepat, sebab itu, jangan buat masyarakat khawatir, sehingga malah terus menerus berbondong bondong ke Rumah Sakit dan makin membuat lelah para tim medis. 

Inilah fakta dan potret masyarakat Indonesia terkini, yang sudah terbaca oleh mahasiswa kita di luar negeri. 

Pertanyaannya, mengapa dengan kekacauan penyebaran informasi khususnya media whatsapp yang terus menimbulkan kekawatiran, pemerintah melalui stakeholder terkait tidak mengambil tindakan tegas terhadap penggunaan whatsapp sebagai media penyebaran informasi yang mengkawatirkan? 

Sumber: doc.Supartono JW
Sumber: doc.Supartono JW

Mengapa yang didengungkan malah akan menangkapi siapa saja yang menyebar hoaks? Dalam situasi seperti sekarang, dengan kesadaran ketimpangan di masyarakat kita, kecil kemungkinan ada pihak yang akan mengambil untung dengan postingan-postingan hoaks.

Meski kemungkinan itu tetap ada, tentu dapat ditebak, siapa di balik penyebar hoaks tersebut. Sekarang hal yang paling utama adalah, bagaimana mencegah masyarakat untuk tidak latah menjadi penyebar informasi dan postingan yang hanya sekadar copas, yang justru semakin menambah kekawatiran dan menambah masalah baru. Mungkinkah melemahkan media whatsapp, pemerintah? Karena imbauan tak mempan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun