Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Imbaun Tak Cocok untuk Masyarakat Kita

26 Maret 2020   10:09 Diperbarui: 26 Maret 2020   10:19 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumrbe: rolisupiawan.com

Rendahnya kecerdasan emosi, kemiskinan, ketidakadilan, ketidaksejahteraan, ketimpangan sosial, terus menganga. Akibatnya, instruksi dan imbauan berdiam diri di rumah hanya menjadi kata-kata angin lalu. 

Berbeda dengan masyarakat negara lain, karena situasi dan kondisi yang ada, pemimpin negerinya pun tegas mengambil keputusan melockdown. Lalu, apa yang terjadi? 

Rakyatnya pun patuh. Sebab, sebagian besar masyarakatnya terdidik, cerdas emosi, telah merasakan keadilan, kesejahteraan, dan kondisi sosial ekonominya pun mumpuni. Jadi, hanya dengan instruksi lockdown, tanpa perlu teriak-teriak berurat syaraf, imbauan lembut saja maka cukup membuat rakyat patuh. 

Bagaimana rakyat Indonesia? Sudah diimbau dengan halus, ternyata tak mempan, bukan? 

Ada kisah yang pernah saya dengar langsung dari "suhu teater" saya bahwa, seorang wartawan senior, sampai hanya diam ketika tingkat marahnya sudah melebihi 100 persen alias marah sekali sebab oleh situasi dan kondisi. 

Bersyukurnya beliau dikelilingi oleh lingkungan keluarga dan tempat tinggalnya yang sudah memahami tabiatya. Karenanya, keluarga dan lingkungannya akan segera paham, bila si wartawan ini sedang marah atau tidak marah. 

Bila si wartawan masih marah dengan suara keras, maka dapat diidentifiaksi bahwa ia sedang marah tingkat rendah, karena orang yang dimarahi memang harus diketuk agar menyadari bahwa dia berbuat salah dan sedang kena marah. 

Sebaliknya bila si wartawan sudah mendiamkan, artinya ia sudah marah sangat marah, dan keluarga dan lingkungannya pun menyadari ada yang salah, sehingga si wartawan sangat marah (mendiamkan, bukan ngambek). 

Kisah si wartawan marah dengan suara keras ini, sungguh tepat bila dilakukan di lingkungan yang masyarakatnya masih rendah emosi dan tidak cerdas integensi dan personaliti. 

Namun, sikap marah dengan diam, cocok diterapkan pada masyarakat yang cerdas emosi, cerdas intelegensi, dan cerdas personaliti. 

Lalu, sikap model mana yang kini seharusnya diambil oleh Presiden Jokowi, bila kondisi masyarakat Indonesia akan terus begini, sementara korban terjangkit virus corona tak tambah reda? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun