Malahan, sejak Minggu (8/3/2020), media sosial Twitter terus diramaikan oleh cuitan Gejayan Memanggil. Tanda pagar (tagar) tersebut merupakan seruan untuk menggelar aksi menolak Omnibus Law. Netizen ramai membuat postingan tentang Gejayan Memanggil Lagi dan membuatnya menjadi trending topik di Twitter Senin (9/3/2020). Entah di hari Rabu (11/4/2020) apakah akan semakin ramai? Kita tunggu.Â
Omnibus Law memang masih asing di negeri ini. Namun, mengapa tiba-tiba diapungkan di periode kedua pemerintahan Jokowi? Tanda tanya itu terus menjadi keresahan masyarakat. Bila kembali saya ungkap, sebab dalam artikel terdahulu, saya juga sudah menjelaskan apa itu Omnibus Law, maka bila saya kutip lagi menurut Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri, Omnibus Law merupakan sebuah UU yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah. Menyederhakan peraturan agar lebih tepat sasaran. Ini adalah terobosan yang sangat menantang jika dilakukan di Indonesia, karena Indonesia belum pernah menerapkan Omnibus Law.Â
Namun karena Omnibus Law ini, dianggap merugikan rakyat, maka muncul berbagai aksi penolakan. Beberapa pasal RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang ditolak, karena pasal-pasalnya merugikan pekerja karena memperpanjang jam kerja dan lembur, penetapan upah minimum yang rendah, potensialnya terjadi pelanggaran hak berserikat pekerja, pemangkasan kewenangan serikat pekerja, hilangnya hak-hak pekerja perempuan untuk cuti haid, hamil dan keguguran.Â
Selain itu, juga merugikan bidang pertanian karena hilangnya pembatasan impor pangan, monopoli oleh unit usaha terkait ekspor bibit unggul tanaman.Â
RUU ini juga berpotensi monopoli tanah oleh Bank Tanah untuk kepentingan investasi serta memangkas dan mengubah konsep administrasi, yaitu memangkas dan mengubah konsep syarat-syarat administrasi seperti atas praktek usaha yang merusak/mengubah fungsi ruang atau lingkungan dengan sentralisasi kebijakan, menghilangkan pelibatan masyarakat, flexibilitas dan penyesuaian tata ruang, penghilangan izin mendirikan bangunan, reduksi atas subtansi AMDAL, penghapusan sanksi pidana lingkungan.Â
Selain itu RUU ini juga akan membuat pendidikan yang berorientasi pasar dan berimplikasi langgengnya praktik komersialisasi, link and match dengan industri, pembentukan kurikulum pendidikan yang fokus ke dalam orientasi kerja.Â
Yang lebih disesalkan, karena RUU ini saya sebut sebagai paket pesanan, maka prosesnya pun dihindari untuk transparan, Â dihindari keterlibatan dan partisipasi masyarakat dan keterbukaan informasi penyusunan rancangan draftnya, karena jelas memang ada kepentingan dan mungkij benar, karena "paket pesanan".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H