Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Virus Copas, Lebih Bahaya dari Virus Corona

8 Maret 2020   22:54 Diperbarui: 8 Maret 2020   23:18 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Virus corona sudah merajalela di dunia, pun hingga detik ini, pemerintah RI lewat juru bicaranya, Minggu (8/3/2020) telah mengumumkan secara resmi bahwa kini sudah ada 6 korban yang positif mengidap virus yang mematikan ini. 

Namun, tanpa disadari, di seluruh dunia, bahkan ada virus yang lebih berbahaya di banding virus corona, yang setiap detik penyebarannya dapat memakan korban bahkan berjuta-juta manusia. Dia adalah virus "copy-paste" (copas). 

Sebelum zaman digital yang menyerbu dunia dan menjadikan media sosial (medsos) dan media online (medion) menjadi raja segala raja penyebaran berbagai jenis informasi, virus copas telah menyerbu khususnya kalangan pelajar dan mahasiswa. 

Sehingga virus ini membuat pelajar dan mahasiswa menjadi malas dan hanya mengandalkan karya tulis/ilmiah orang lain, disalin menjadi seolah karya-nya. Menjadikan pelajar dan mahasiswa mati rasa dalam soal daya pikir, kreativitas, dan inovasi. 

Beruntung, berikutnya lahir panduan ilmiah yang dapat mendeteksi pelajar dan mahasiswa curang, yang hanya melakukan copas (plagiat), seperti yang juga biasa dilakukan oleh redaktur media massa cetak dalam menyeleksi artikel-artikel lepas yang ditulis para kolumnis dan kini juga dilanjutkan oleh media online. 

Fatalnya, ternyata virus copas, masih sulit dibasmi sejak hadirnya medsos. Malahan virus ini semakin tumbuh subur, dan setiap detik, grup-grup whastapp (wa) malah lebih heboh dari media massa. 

Apapun baik dalam bentuk tulisan atau foto atau gambar atau video, semuanya langsung di copy dan diteruskan. Akibatnya, korban dari virus copas di medsos malah lebih banyak dari korban virus corona. 

Yang pasti, berapa ratus juta orang yang kini telah jadi korban virus copas, yang tanpa disadari membunuh kreativitas dan daya inovasi. 

Seharusnya, kita berterima kasih kepada "Bapak penemu copy-paste" Larry Tesler, sebab beliau tentu tidak bermaksud membunuh daya imajinasi, daya berpikir, daya kreativitas, dan daya inovasi seseorang. 

Seandainya saja fitur itu tidak pernah ditemukan, yakin dalam hal-hal pendidikan khususnya, kita akan sangat lama untuk mengerjakan berbagai tugas. 

Namun, sejak fitur ini ditemukan dan kini malah sudah ada dalam ponsel, maka fitur copas, saya sebut malah menjadi virus yang lebih berbahaya dari virus corona. 

Virus copas selain mematikan daya imajinasi, kreasi dan sejenisnya, selama ini terbukti telah mengakibatkan sekelompok orang menjadi salah paham, saling berkelahi, saling membenci, saling berseteru, masuk penjara, hingga ada korban jiwa, apalagi saat zaman kisruh Pilkada dan Pilpres. 

Padahal copy paste, yang akhirnya lebih dikenal sebagai copas, pertama kali diperkenalkan oleh Larry pada tahun 1973. Larry Tesler adalah seorang ilmuwan komputer yang fokus di bidang interaksi manusia-komputer. Tesler tumbuh di New York, Amerika Serikat, dan lulus dari Stanford University. Nama aslinya Lawrence Gordon Tesler ini pernah bekerja di Xerox PARC pada tahun 1970-an. Tempat itu adalah pusat penelitian komputer yang berbasis di Paolo Alto, California, Amerika Serikat. 

Dilansir dari keepo.me, saat Tesler bekerja di Xerox, dia melakukan penelitian program Smaltalk-76 yang bertugas menyimpan data teks ke dalam memori internal komputer. 

Nah, berawal dari sinilah, Larry mulai menciptakan fitur cut, copy, dan paste. 

Bagaimana dengan budaya khususnya masyarakat Indonesia dengan hadirnya fitur copas? Ternyata budaya copas kini sudah sangat dikuasai oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Tidak pernah terpikir bagaimana mencegahnya, budaya copas pun mengakar lalu diikuti oleh budaya menjiplak, meniru, mencontek karya orang lain demi keuntungan sendiri. 

Tentu Larry menciptakan fitur copas bukan dengan maksud untuk menjadikan manusia malas, menjadikan manusia mati daya imajinasi, kreasi, dan inovasi. 

Namun, dalam kenyataannya, virus copas malah tumbuh sangat subur dalam grup-grup medsos yang menjadikan para anggotanya menjadi lebih gesit dibandingkan para wartawan atau media yang mewartakan berita. 

Tanpa ada saringan, tanpa ada kontrol, semua main copas, main sebar dan meneruskan hal-hal yang belum tentu benar, hal-hal yang bisa menimbulkan masalah, hoaks, hal-hal yang sengaja memancing emosi, dan lain sebagainya, hingga akibat virus copas ini, sangat rentan menimbulkan disintegrasi bangsa. 

Bila media massa masih memiliki staf redaksi yang bertugas menyeleksi dan menyaring berita sebelum dipublikasikan, maka virus copas di medsos kini tanpa saringan. 

Meski Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), menjadi benteng untuk persoalan ini di NKRI, namun tetap saja, virus copas tak henti merajalela di masyarakat kita. 

Akibatnya, bangsa ini terus terpuruk dan tertinggal dari bangsa lain dari segi daya inovasi, tragisnya, masyarakat kita menjadi masyarakat konsumtif dan masyarakat pemakai barang yang dicipta oleh orang/bangsa lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun