Seiring perkembangan zaman. Hadirnya teknologi hingga munculnya medsos dan medion, menjadikan negeri ini dipenuhi oleh orang-orang "keminter" (sok tahu) sehingga membuat berbagai persoalan tambah "keblinger"(sesat dan keliru).Â
Bila "dulu" banyak pihak berpikir bahwa gelar sarjana, master, doktor dan lain sebagainya saja dapat "dibeli" dan "hasil rekayasa" hingga muncul nama-nama bergelar yang tak mumpuni dalam bidangnya, maka kini tanpa gelar dan ijazah di bidangnya, banyak orang yang mengaku-aku sebagai ahli, tenaga ahli, profesional dan sejenisnya.Â
Masih lekat dalam ingatan saya, saat  masih duduk di bangku SD, ada guru bertanya, "apa cita-cita kamu?" Saat itu saya menjawab ingin jadi doktorandus.Â
Doktorandus atau disingkat Drs. merupakan gelar yang diberikan oleh universitas. Kata "Doktorandus" merupakan kata pungutan dari bahasa Belanda yang memungutnya dari bahasa Latin yang berarti "Ia yang akan dijadikan ilmuwan."Â
Sementara, teman-teman lain ada yang bercita-cita menjadi dokter, Insinyur, tentara, polisi, hingga menjadi presiden.Â
Sayang, selama menempuh jalur pendidikan hingga saya meraih gelar megister, rasa terdidik yang masih sangat melekat dan terasa adalah saat masih di TK, SD, SMP, dan SMA.Â
Pada saat saya berproses dalam meraih gelar lanjutan, yang saya citakan hingga jenjang S-2, rasanya terdidiknya tak selekat saat berporses dari TK sampai dengan SMA.Â
Bahkan untuk dapat menyesuiakan diri sebagai lulusan S-1 atau S-2 secara formal, saya harus menambah pembelajaran secara "otodidak".Â
Artinya proses belajar dan ilmu yang didapat di bangku kuliah, hingga sampai meraih gelar, saya rasa belum cukup sepandan untuk diaplikasikan dalam dunia nyata, dunia pekerjaan, sesuai perkembangan zaman dan sesuai dengan gelar yang disandang.Â
Bila ditelisik, jelas, masalahnya adalah ada pada kurikulum pembelajaran dan para dosen yang juga tak mengiringi langkahnya dengan perkembangan zaman. Sehingga "link and match" nya tidak nyambung.Â
Bersyukur, kini hal tersebut sedang dibongkar-bongkar oleh Mas Nadiem, Mendikbud baru kita.Â
Kembali kepada persoalan proses belajar, khusus untuk yang bercita-cita meraih gelar pendidikan formal, hingga kini prosesnya tetap bukan pekerjaan semudah membalik telapak tangan, meski setelah meraih gelar pun, tidak mudah pula bersaing dalam mendapatkan pekerjaan sesuai gelarnya.Â
Sebab, meski telah meraih kertas bertulis ijazah S-1 dan S-2 hingga S-S lainnya, kualitas dan kemampuan asli individu setiap orang dapat dilihat, diukur, dan diuji dengan takaran obyektif.Â
Di dunia nyata bahkan banyak kita jumpai "kualitas dan kemampuan" peraih gelar pendidikan di bidangnya kalah jauh dari yang tak bergelar pendidikan, karena lebih bertumpu pada pengalaman dan keuletan.Â
Sementara para peraih gelar, hanya bersembunyi dibalik ijazahnya, tanpa kemampuan memadai.Â
Atas fakta ini, maka tak salah bila lantas banyak sekali muncul orang-orang yang mendadak mengaku dan duduk sebagai tenaga ahli, profesional di bidang ini dan dibidang itu, meski hanya mendapat pendidikan sekelas seminar dan TOT.Â
Sementara perekrutan dalam seminar dan TOT pun lebih bersifat kolega/pertemanan, bukan karena fakta "kemampuan dan kualitas" individu sesuai keahlian dalam bidangnya.Â
Kondisi ini, semakin diperkeruh oleh kehadiran media massa, media online, medsos, dan saluran televisi yang dengan gampanganya memberikan "gelar" kepada para nara sumbernya dengan "embel-embel" tenaga ahli, pengamat, praktisi dan sebagainya.Â
Luar biasa, di negeri ini, dunia menjadi terbalik. Hal yang tidak perlu dipersoalkan malah menjadi masalah, bahkan viral. Masalah kecil yang seharusnya mudah diselesaikan, menjadi tambah besar, melebar, keruh, dan kisruh.Â
Sementara masalah yang besar, bila datang dari pemimpin, elite politik, partai politik, hingga pemerintah, justru dialih-alihkan.Â
Namun, bila masalah besar bukan datang bukan dari "pihak mereka", maka akan menjadi lahan empuk untuk saling "menyerang."Â
Semua itu akibat adanya "gorengan" dari semua stakeholder yang menciptakan para ahli, pengamat, dan praktisi dadakan. Sampai kapan negeri ini akan terus "memproduksi" orang-orang "keminter dan keblinger" yang terus bertumbuh subur, bahkan diberikan panggung luas di area yang seharusnya menjadi contoh bagi rakyat?Â
Betapa sedihnya para Pahlawan yang telah rela berkorban jiwa dan raga demi bangsa ini merdeka. Ternyata, kini negeri nusantara yang telah mereka perjuangkan, hanya diisi pembangunan penuh dengan teladan "keminter yang keblinger".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H