Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Hedonisme Menguasai Sendi Filosofi Indonesia

21 Desember 2019   21:08 Diperbarui: 21 Desember 2019   21:16 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Doc. Supartono JW

Menjelang berakhirnya tahun 2019, masyarakat kita semakin nampak menggemari kehidupan hedonis. 

Semakin menjamur sikap hedonisme, yaitu pandangan yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah sebagai tujuan utama dalam hidup. 

Karena itu, kehidupan masyarakat kini lebih mengutamakan perihal materialistis, dan hidup dalam ranah individualistis. Bagaimana di tahun 2020? 

Nampaknya akan tetap terjadi hal yang sama. Bahkan, bisa jadi, sikap demikian akan semakin menjadi, bila tidak ada upaya masif yang secara dinamis melakukan "edukasi" ke seluruh lapisan masyarakat. 

Pemerintah sendiri, kini malah sibuk dengan target di periode keduanya. Seolah abai dengan kondisi masyarakat yang semakin jauh dari adat budaya leluhur, terutama tentang gotong royong dan rasa memiliki. 

Faktanya, kini, seiring perkembangan peradaban dan zaman, nilai-nilai kemanusiaan yang melekat pada sosok manusia sebagai makhluk sosial, kini di Indonesia kian runtuh. "Gotong-royong" yang selama ini kita kenal sebagai dasar filosofi Indonesia, karena menjadikan manusia Indonesia mengenal dirinya, orang lain, lingkungan, dan negara sebab terbudaya bekerjasama, musyawarah, kekeluargaan, ketuhanan, adat budaya dan sebagainya berdasarkan Pancasila, sejak tatanan kehidupan berubah dari negara agraris menjadi industri, dan perekonomian kapitalis menjadi dewa, maka gotong-royong kian luntur. 

Manusia sebagai makhluk sosial di Indonesia kian bergeser menjadi "tak sosial", "materialistis", dan "individulistis". Perubahan dan pergeseran tak sosial ini justru diteladani oleh para pemimpin dan elite partai di negeri ini yang justru saling "bancakan" menomor utamakan kepentingan diri dan keluarga serta golongan serta koleganya dengan mengabaikan rakyat. 

Apa balasan rakyat atas sikap pemimpin yang selama ini justru jauh dari sikap meneladani? Di lingkungan sosial terkecil, dalam rumah tangga, suami-istri dan anak-anaknya sudah banyak yang kehidupan sosialnya sudah tidak seperti sebuah keluarga. Tidak harmonis, saling mementingkan diri, bertengkar dan lainnya demi hidup lebih hedonis. 

Hanya memikirkan kesenangan dan kesenangan, gelimang harta dan tahta. Bila di lingkungan terkecil dalam sebuah keluarga sudah seperti itu, bagaimana di lingkungan Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) dan seterusnya? 

Bagaimana pula dengan lingkungan pemerintahan/instansi/perusahaan/sekolah/kuliah/ perkumpulan/organisasi sosial dan  lainnya? Semua sudah lebih dikuasai oleh sikap individualistis. 

Sulit rasanya kini kita temukan "sense of belonging", rasa memiliki di masyarakat kita. Semua sudah tergerus oleh kehidupan duniawi, materialiatis dan individualistis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun