Yang ada, rasa memiliki itu kini lebih dipertontonkan dalam rangka berebut kursi kekuasaan, berebut kue keuntungan, Â dan sejenisnya.Â
Gotong-royong luntur, karena rasa memiliki kini hadir hanya untuk diri/keluarga. Bukan untuk orang lain dan lingkungan sosialnya. Bahkan, kini "mereka" begitu mencintai yang bukan hanya milik mereka sendiri.Â
Mereka bahkan takut kehilangan yang bukan milik, bukan hak-nya.Â
Seharusnya, ketika kita merasa memiliki, maka kita akan mencintainya, merawatnya, dan menjaganya.Â
Lalu, memiliki dengan dasar kebersamaan. Memiliki dengan dasar berbagi. Memiliki dengan dasar kesadaran, sadar bahwa bukan hanya kita yang berhak memilikinya.Â
Karena pudarnya rasa memiliki dan takut kehilangan yang bukan milik, maka kebersamaan, kerjasama, persatuan, kekeluargaan, budaya adat, dan sebagainya yang ada dalam gotong royong pun luntur bersamaan, menipisnya budaya gotong-royong di negeri nusantara dalam arti sebenarnya.Â
Miris, gotong royong yang menjadi filosofi Indonesia kian luntur direjam oleh hedonisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H