Dalam suatu keramaian di suatu tempat wisata, kami – saya dan istri – sempat berdebat dengan seseorang soal sampah. Seseorang itu membuang sampah begitu saja, walau tempat sampah berada tak jauh. Saat kami tegur, orang itu menjawab ringan, “Kan ada tukang sampah? Nanti juga diberesin!”.
Logika ini agak – jujur saja – sedikit di luar dugaan kami. Melempar tanggung jawab urusan sampah kepada tukang sampah adalah logika yang terasa benar, namun sayup-sayup terasa ada ironi di baliknya. Seolah jika seseorang membereskan sampahnya sendiri, dia menjadi korban karena sudah bersusah payah membantu tukang sampah, dan lebih jauh lagi, tukang sampah akan jadi keenakan karena kurang kerjaan. Membuat orang lain jadi keenakan agaknya terasa menyakitkan bagi sebagian orang. Fakta bahwa sampah kita hakikatnya adalah tanggung jawab kita jadi kabur dan terkubur.
Kejadian ini mengingatkan saya pada perjalanan Eric Weiner dalam mencari kebahagiaan. Dalam The Geography of Bliss, Eric menjelajahi berbagai tempat di muka bumi, untuk meneliti tentang kebahagiaan (dan juga ketidakbahagiaan). Berbekal database dari seorang Belanda bernama Ruut Veenhoven, Profesor Peneliti Kebahagiaan, Eric pergi dari negara bahagia ke negara bahagia lainnya. Tapi tidak hanya itu, Eric juga pergi ke negara yang dianggap kurang atau tidak bahagia, yaitu Moldova.
Ketidakbahagiaan Moldova memang menarik untuk dipelajari. Negara ini bukan negara yang paling miskin. Banyak negara lain yang lebih miskin namun lebih bahagia. Di sana juga tidak sedang terjadi peperangan, sesuatu yang wajar untuk merenggut kebahagiaan. Dalam perjalanan di Moldova, Eric menemukan beberapa ‘penyakit’ di masyarakat. Penyakit serius yang membuat masyarakat itu sulit berbahagia. Salah satu dari penyakit itu adalah penyakit: “Bukan Masalah Saya”.
Saat di Moldova, Eric memilih untuk home stay di rumah salah satu warga, di suatu apartemen peninggalan zaman Soviet. Pipa saluran air di apartemen tersebut rusak. Namun tak seorang pun mau berinisiatif memperbaikinya. Bahkan saat Luba, ibu tua pemilik rumah tempat Eric menginap, mengusulkan untuk diadakan urunan, tak seorang pun bersedia. Tak seorang pun ingin menyumbang untuk sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, bahkan bagi diri mereka sendiri. “Bukan Masalah Saya!”, begitu kata mereka.
Jika ditelusuri lebih jauh, penyakit ini ternyata berdekatan dengan rasa iri. Namun rasa iri yang satu ini tanpa upaya persaingan untuk menjadi lebih baik dari pada orang lain. Jika kita iri melihat orang lain sukses, dan kemudian berusaha untuk menjadi lebih sukses, itu masih mendingan, karena upaya untuk setidaknya menjadi lebih baik. Namun, orang-orang ini lebih senang dengan penderitaan orang lain ketimbang dengan keberhasilan mereka sendiri. Tidak apa-apa saya gagal, yang penting mereka juga gagal. Begitu kira-kira.
Maka ketika ada orang lain berusaha maju dengan ide-ide cemerlang, orang-orang lain begitu khawatir jika ide itu terwujud, tidak peduli betapa bermanfaatnya ide itu bagi semua orang. Maka ide itu perlu dihajar beramai-ramai, hinggal layu sebelum berkembang.
Nah, itu di Moldova, negara tidak bahagia. Kejadian saya soal sampah di paragraf pertama, bukankah setidak-tidaknya mirip dengan kasus di Moldova? Sampah saya bukan masalah saya, bukan urusan saya. Itu urusan tukang sampah.
Ataukah kasus yang saya alami hanyalah kasuistik. Saya kira tidak, dengan melihat betapa sampah bertebaran di mana-mana. Agaknya sebagian besar orang berpikir bahwa sampah mereka memang bukan masalah mereka.
Apakah masalah ini terkait dengan tingkat pendidikan dan drajat sosial ekonomi? Saya tidak yakin akan jawabannya. Tapi saya menemui beberapa kali di perjalanan, sampah menghambur keluar dari jendela mobil-mobil mewah. Menghambur begitu saja, tak peduli siapa yang akan menjadi sasarannya. Entah apa yang ada dalam pikiran orang-orang itu.
Tiba-tiba saya teringat nasihat bijak mendiang Stephen Covey, yang diringkas menjadi satu kata: Proaktif. Proaktif adalah habit pertama dalam The Seven Habits. Memulai dari diri sendiri. Memulai dari diri sendiri, walau efektifitasnya mungkin tidak langsung terlihat. Seperti dalam kasus sampah yang bertebaran, kami memulai dengan mengurus sampah kami sendiri. Ini tidak banyak artinya dibandingkan jumlah sampah yang bertebaran. Kami jelas tidak punya energi untuk mengurus sampah seluas itu. Tapi kami sudah menunaikan tanggung jawab kami.
Tentu saja saya melihat banyak anggota masyarakat yang sangat peduli pada kebersihan. Banyak gerakan Bank Sampah. Sekarang pun ada gerakan sekolah sehat nasional. Sehat tentu terkait dengan bersih (dan banyak aspek lain). Ya, masih banyak harapan bagi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H