Mohon tunggu...
Sabrul Jamil
Sabrul Jamil Mohon Tunggu... Programmer - Seorang suami, dan ayah dari empat orang anak

Seorang ayah dari 4 anak, yang hobi mencermati dunia pendidikan dan keluarga. Blog pribadi http://sabruljamil.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Pohon Terakhir Ditebang

20 November 2016   19:06 Diperbarui: 20 November 2016   20:05 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang penggerutu bernama Eric Weiner berjalan mengelilingi dunia, dalam suatu misi ambisius yaitu melakukan survey tentang kebahagiaan. Eric berkelana ke banyak negara, bukan hanya yang dikenal bahagia, tapi juga yang dikenal karena ketidakbahagiaannya. Hasil perjalanannya dia tuliskan dalam sebuah buku berjudul The Geography of Bliss. Sudah banyak yang mereview buku ini. Saya tidak hendak mereviewnya. Saya tertarik untuk menceritakan satu dua bagian yang pernah saya baca, yang saya anggap menarik. Salah satunya adalah cara pandang orang Bhutan tentang kebahagiaan.

Saat berkunjung ke Bhutan, Eric bertemu dengan salah seorang pemikir di negara kecil tersebut. Orang itu bernama unik: Karma Ura. Saat ditanya, apakah dia bahagia, Karma berpikir sebentar, dan menjawab bahwa dia bahagia. Dia juga menceritakan rahasia kebahagiaannya, yaitu, “Saya mencapai kebahagiaan karena saya tidak mempunyai harapan yang tidak realistis.”

Saat pertama membaca kalimat di atas, saya berhenti sejenak, dan mempertanyakan kebenaran kalimat bernada argumen tersebut. Selama ini saya termasuk yang beranggapan bahwa harapan haruslah kita tempatkan setinggi langit, atau kalau bisa lebih tinggi lagi. Harapan yang rendah membuat kita tidak atau kurang bersemangat.

Ataukah jangan-jangan harapan yang dimaksud orang bernama Karma ini berbeda dengan pengertian harapan yang saya miliki? Saya pun melanjutkan membaca.

Ternyata Eric Weiner, sang penulis buku, juga mempunyai pandangan yang sama dengan saya tentang harapan. Di Amerika, harapan adalah mesin, sekaligus bahan bakar dan kekuatan yang mendorong untuk mencapai kebahagiaan.

Saya berhenti lagi, berpikir, apakah saya sudah ke-Amerika Amerika-an? Saya tidak yakin akan jawabannya. Akhirnya saya mundur – alih-alih maju – ke beberapa halaman sebelumnya. Ada kalimat yang menggelitik pemikiran saya.

Ketika pohon terakhir ditebang

Ketika sungai terakhir dikosongkan

Ketika ikan terakhir ditangkap

Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang

Kalimat ini tertulis di sepotong papan yang ditancapkan di pinggir jalan di jalanan Bhutan. Semacam rambu, mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun