Pemerintah memberi izin industri rokok dengan keharusan mencantumkan tanda bahaya "Rokok Membunuhmu", dan dimasa lalu "Rokok menyebabkan impoten, kanker dsl." merupakan sandiwara yang tak sedap untuk diakui bahwa barang yang mudaratnya jelas itu harus dilindungi demi penghasilan negara dan kehidupan para pekerja rokok. Ironinya bahkan industri rokok yang memberi sumbangsih pada negara ini dianggap paling memiliki jasa besar terhadap pembangunan dan bahkan juga sebagai pemberi bea siswa dan berbagai yang lainnya.
Panca Sila sebagai Dasar Negara, jelas dalam sila pertama tak akan sesuai dengan perilaku kita untuk mempertahankan Sang Pembunuh untuk dilindungi atau menjadikan kehidupan ini digantungkan padanya.Â
Kini kita telah dibiarkan menoleh ke masalah lain, seolah rokok telah dilupakan mudaratnya dan mengasikkan kita melihat dari sudut kebutaan.
Masyarakat luas yang telah merokok dan kepingin dikurangi jumlahnya dicarikan solusi tetapi yang berakibat dapat menambah jumlah perokok.
Sifat sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan rendah dan ruwet dengan kusutnya kehidupan dan beralih pada rokok untuk melampiaskan kekosongan waktunya hingga terjebak dalam kecanduan rokok, dengan kenaikan harga dan tata cara proposi rokok yang menonjolkan kesatriaan, kedahsyatan, kemewahan dan berbagai penyajian iklan yang serba seru itu, mana lagi jika diecerkan menggunakan anak putri remaja diremang rumah kedai hingga restoran, semuanya akan menambah prestise kepalsuan yang menghanyutkan.
Gengsi merokok akan dipandang semakin naik ketika harganya dinaikkan. Maka pembenaran asiknya merokok, bahwa rokok membuat pikiran terbuka, akan jelas mengurangi porsi penghasilan kaum Bapak untuk menjadi biaya menghidupi rumah tangga.
Para pemilik duit yang kantongnya tebal telah hanyut lebih jauh ke awang-awang prestise, sebuah kepalsuan yang menjerat generasi produktif untuk bekerja dan memandang bahaya sebagai bahaya.
Seharga emas rokok akan dipandang emas, dan jadilah keuntungan industri rokok menjadi legal seolah uang kaget datang dari pemerintah dan dukungan serta alasan kuat yang tak perlu mereka buat. Toh para pengambil kebijakan telah tersesat memandang dirinya membawa solusi. Bukankah dari awal dan dari detik ke detik harga rokok ingin ditinggikan oleh penjual dan pembuat rokok. "Oh.. alangkah menyenangkannya dunia ini", mungkin begitu gumam yang tak kita dengar itu keluar dari mereka.
Tetapi para pemilik dut yang kantongnya tebal dan telah hanyut jauh di awang-awang prestise itu bisa kecewa, harga rokok yang dihisapnya sama dengan rokok mereka yang terpapar di emper toko. Nah ini kesempatan lain menggenjot lagi harga rokok mutu premium. Uang kaget..uang kaget lagi.
Ku berharap menteri kesehatan dapat seperti Ibu Susi, mengacungkan tangan mengangkat harkat rakyat dan negara.
Ku berharap ada cendekiawan yang bisa menyulap untuk mengolah tembakau menjadi bahan yang bermanfaat bagi kehidupan, sebagaimana kuyakini bahwa tembakau dicipta untuk kebaikan hidup manusia.
Moga ini bukan memiliki arti ada udang dibalik batu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H