Mohon tunggu...
SJ Arifin
SJ Arifin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pemahat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Kebangkitan; Indonesia untuk Indonesia (1)

7 Mei 2014   06:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:46 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentang Nama dan Identitas Indonesia.

Bagaimana melacak masa lalu Indonesia? Secara serampangan pendidikan sejarah di sekolah-sekolah membuat batasan yang longgar tentang apa dan siapa bangsa Indonesia. Misalnya beberapa tokoh dari masa lalu seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, hingga Pattimura, dimasukkan dalam kategori pahlawan nasional.

Tanpa mengurangi rasa hormat, semua tokoh di atas tidak pernah lebih dari pahlawan lokal atau pahlawan rakyat setempat. Perlawanan mereka terhadap VOC atau Belanda berangkat dari kasus-kasus lokal dengan karakteristik lokalitasnya, yang tidak ada kaitannya dengan cita-cita sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia. Bahkan seumur hidupnya mereka tidak pernah tahu nama Indonesia.

Istilah Indonesia (atau Indunesia), pertama kali muncul tahun 1847, dalam Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia, sebuah jurnal ilmiah tahunan berbasis di Singapura, yang digawangi oleh James Richardson Logan dan George Samuel Windsor Earl. Istilah tersebut murni istilah etnografi dan geografi untuk menggantikan sebutan umum bagi kawasan yang terbentang antara Persia dan Tiongkok, yakni Hindia Belakang, atau Hindia Timur, atau Kepulauan Hindia. Belanda sendiri menyebut kawasan itu sebagai Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).

Istilah ciptaan Logan dan Earl, mendapat momentumnya di tangan Adolf Bastian, guru besar Etnologi Universitas Berlin, pada tahun 1884, melalui terbitan buku yang menjadi sangat populer di Eropa, berjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel(Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu). Sejak saat itu Indonesia menjadi istilah yang umum, namun tetap dalam konteks etnografi dan geografi.

Penggunaan nama Indonesia dalam kontek di luar etnografi dan geografi (baca: politik) baru dimulai pada dekade kedua abad 20. Adalah Ki Hajar Dewantara, saat dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 mendirikan sebuah biro pers bernama Indonesische Persbureau. Kemudian Mohammad Hatta, mahasiswa sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam yang kelak menjadi wakil presiden Indonesia yang pertama, tahun 1922 mengubah nama organisasi pelajar dan mahasiswa asal Hindia di Belanda, dariIndische Vereeniging berubah nama menjadiIndonesische Vereenigingatau Perhimpoenan Indonesia. Tahun 1924, Perserikatan Komunis Hindia mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia, dan Dr. Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club. Gelombang demi gelombang arus pergerakan kemudian menamai dirinya sebagai Indonesia, yang berpuncak pada gegar Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928.

Menjadi jelas bahwa nama Indonesia baru terinstal dalam memori sejumput elit sosial pribumi pada sekitar tahun 20-an—untuk menamai untaian kepulauan beserta yang hidup di atasnya, yang membentang seluas 1.919.440 km2—yang sebelumnya nyaris tidak memiliki ide tentang satu kesatuan bangsa, selain kesadaran sebagai bangsa Aceh, bangsa Batak, bangsa Minang, bangsa Sunda, bangsa Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bugis dst. Indonesia tak ubahnya imagined communities project, meminjam istilah Ben Anderson, yang digagas oleh sangat sedikit elit intelektual.

Selain perkara nama, identitas kesatuan wilayah yang kemudian bernama Indonesia, ternyata juga sama kaburnya. Terdapat sejumlah kisah besar di masa lalu, di era kerajaan Sriwijaya, dan kemudian Majapahit, yang kerap dibanggakan menjadi akar persatuan wilayah Indonesia, sesungguhnya tak lebih dari imajinasi. Majapahit, dalam Nagarakertagama, digambarkan menguasai wilayah dari Sumatera hingga New Guinea, setara dengan wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand Selatan, Filipina, Timor Leste, dan Papua New Guinea saat ini.

Namun kita luput membuat penilaian seefektif apa Majapahit menguasai dan memerintah wilayahnya sebagai satu kesatuan kekuasaan yang utuh. Mengingat wilayah yang dikuasai langsung dan terus menerus oleh Majapahit tidak pernah lebih luas dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Sedangkan selebihnya hanyalah permainan upeti belaka. Kepada setiap daerah taklukan yang lalai mengirim upeti, Majapahit akan mengirimkan armada perangnya untuk memberi hukuman, menaklukkan ulang, lalu pergi begitu saja. Tidak ada yang namanya kesatuan wilayah yang terpelihara.

Selain itu, zaman keemasan Majapahit dengan daerah taklukan yang luas tidak lebih dari 100 tahun lamanya, yakni sejak Gajah Mada diangkat menjadi Patih (1313) hingga mangkatnya Hayam Wuruk (1389). Masa yang terlalu singkat untuk menanam benih persatuan wilayah. Bandingkan dengan kekaisaran Jepang yang telah membina keutuhan wilayah sepanjang 1.354 tahun (sejak didirikan oleh Kaisar Jimmu tahun 660 hingga saat ini, tanpa terputus). Bandingkan juga dengan rasa kebangsaan Turki yang telah dirawat sepanjang 998 tahun, melalui 3 masa kekuasaan efektif (Turki Seljuq (1016), Turki Usmani (1299), dan Republik Turki (1923)). Dibandingkan kedua negeri tersebut, Indonesia tampak seperti remaja tanggung yang baru tumbuh jerawatnya.

Kesatuan wilayah Indonesia justru diperkenalkan secara perlahan oleh Belanda setelah ambruknya VOC tahun 1800, melalui proyek Hindia Belanda. Bagian demi bagian kepulauan ini dirajut, dikelola, diperintah dengan sistem administrasi efektif dan menyatu di bawah panji Hindia Belanda. Bahkan hingga akhir kekuasaan Hindia Belanda, mayoritas pribumi (inlander) tidak pernah punya bayangan tentang sebuah bangsa bernama Indonesia, yang lepas sepenuhnya dari Belanda. Menjadi jelas, Indonesia adalah pewaris Hindia Belanda. Suka atau tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun