Mohon tunggu...
SJ Arifin
SJ Arifin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pemahat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Kebangkitan; Indonesia untuk Indonesia (6)

11 Mei 2014   10:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi yang selalu berminat “membangun” revolusi di Indonesia, ada dua hal yang harus anda pertimbangkan: Pertama, menurut survei tahun 2012 dari lembaga internasional Ipsos yang berbasis di AS, Indonesia adalah bangsa yang paling bahagia di dunia, mengalahkan AS, Inggris, Jerman, dan Jepang. Kedua, tidak pernah ada gerakan sosial dari bawah di Indonesia yang tidak dibajak penyamun dari atas.

Kita bisa memperdebatkan apa itu kebahagiaan, namun menyaksikan bangsa ini tetap tegak tersenyum ramah, bahkan penuh tawa, di tengah semua keterbatasannya adalah salah satu di antara keajaiban dunia. Dan bagaimana caranya membuat orang-orang bahagia tersebut mendukung revolusi anda.

Orang Indonesia yang ramah dan bahagia punya cara sendiri untuk melepas ketegangannya, yakni melalui “amok”, demikian uniknya karakter ini sehingga kata itu diserap oleh bahasa Inggris untuk menamai “perilaku tak terkendali dan mengacau (Oxford Dictionaries)” atau “berada di luar kendali dan berbahaya (Cambridge Dictionaries)”.

Amok tidak pernah berlangsung lama, seperti erupsi gunung berapi yang seketika mengganas lalu membisu sekian lama. Sepanjang sejarah Indonesia modern telah terjadi 2 kali amok dalam skala nasional, yaitu revolusi kemerdekaan 1945-1949 dan geger PKI 1965. Dan belasan hingga puluhan amok dalam skala daerah, misalnya kekerasan Mei 1998, konflik Ambon, dan Poso. Dalam skala lebih kecil (dan juga lebih sopan), amok bisa terjadi setiap hari dimana-mana, misalnya anak-anak sekolah yang kompak kesurupan massal.

Pada titik inilah kita dapat membaca alasan kedua. Para penyamun dari atas selalu punya cara “mereformasi” benih revolusi rakyat menjadi serangkaian amok, sehingga ujungnya bisa dikendalikan dan tetap berada di genggaman para penyamun. Petualangan G30S akan lebih mudah dibaca dalam perspektif ini, juga klimaks reformasi 1998. Jenis dan corak kekuasaan bisa berubah menjadi apa saja, namun pola ke-penyamun-annya tetap begitu-begitu saja.

Era reformasi ini bahkan sanggup menyajikan pola-pola tersebut dengan lebih variatif. Mari tanyakan kepada organizer demonstrasi yang terobsesi mengepung setiap ruas jalan protokol Jakarta dengan puluhan hingga ratusan ribu pengunjuk rasa. Yang pertama mereka hitung adalah berapa ongkos menggerakkan massa? Berapa harga per kepala? Berapa bus yang perlu disewa? Lalu segera ajukan RABnya pada para penyamun, jangan lupa mark up di sana-sini agar para inisiator dan penyelenggara dapat menyimpan sisanya.

Cara canggih lain adalah dengan membeli media massa, syukur jika televisi. Dengan memiliki media massa seseorang dapat menentukan siapa orang baik dan siapa yang jahat. Tampilkan si jahat bak iblis penuh dosa, bila perlu tayangkan setiap detik. Di sisi lain, naikkan citra status si baik setara malaikat yang polos tanpa noda. Masyarakat telah terbiasa dicekoki sinetron bawang merah bawang putih, si baik dan si jahat, sehingga mudah bagi mereka menerima ide semacam itu dalam kenyataan sehari-hari.

Di zaman penuh kebebasan ini, informasi nyata telah melimpah ruah meskipun mayoritas adalah info sampah. Satu televisi pengaruhnya lebih kuat dari 20 batalyon tentara bersenjata lengkap.

Di atas semua itu, mari kita berbicara tentang kebangkitan nasional. Kebangkitan yang digagas dari atas oleh anak-anak priyayi awal abad 20, dilanjutkan para ideolog era 50an, lalu diteruskan sekawanan oligark binaan Orde Baru yang tak pernah kenyang, hingga kalangan reformis peduli citra yang mengontrol semua akses politik dan ekonomi saat ini. Kebangkitan yang menyelubungi ketinggian dengan awan gelap tanpa hujan.

Mungkin kita bisa menunggu dan berharap mereka akan mengulurkan tangannya ke bawah, tanpa sorot kamera, entah sampai kapan. Berdoa agar mereka tidak melupakan kita, lalu mengajak kita turut menikmati madu Indonesia, pada hari kiamat minus satu.

Atau kita dapat mulai menata diri sendiri, saling menghidupi, saling menumbuhkan, dan saling menguatkan, dengan atau tanpa mereka yang di ketinggian. Dengan ikhtiar mengeja Indonesia bersama-sama agar dapat menjadi milik kita. Hingga suatu saat mereka harus menyerahkan sebagian Indonesia-nya kepada kita.

Pengalaman puluhan tahun menegaskan bagaimana sebagian besar Indonesia telah disembunyikan dan dijauhkan dari kita, hanya disisakan tetesan-tetesan dan remah-remah, atau bagian paling merana untuk kita. Itupun kita tetap bersabar, tersenyum ramah, dan tetap berbahagia.

Jalan kebangkitan mestinya jalan untuk semua. Jalan kebangkitan bukan jalan kekerasan. Jalan kebangkitan adalah jalan peneguhan sikap, watak, dan karakter yang membuat kita memiliki daya tahan dan kekebalan sekaligus ketangguhan menghadapi pencitraan, manipulasi, jebakan, penghisapan, penipuan berkedok kebaikan yang dirancang dari atas. Jalan kebangkitan memperkuat kapasitas dan akses kita kepada keseluruhan Indonesia.

Karena Indonesia harus menjadi milik seluruh orang Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun