Mohon tunggu...
suryansyah
suryansyah Mohon Tunggu... Editor - siwo pusat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

warga depok paling pinggir, suka menulis apa saja, yang penting bisa bermanfaat untuk orang banyak. Email: suryansyah_sur@yahoo.com, siwopusat2020@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary

Herdi "Max Verstappen"

19 Desember 2021   13:39 Diperbarui: 19 Desember 2021   13:47 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil Pemilihan RT 005/007 Nilam, Permata Depok/foto dok pribadi

NOVEMBER kelabu. Buat saya. Pikiran dan jantung berseteru. Kencang berpacu. Sekencang 'jet darat' Formula 1 (F1) menderu.

Beruntung, Desember semua berlalu. Hati terasa plong. Tak lagi dag-dig-dug. Tidak lagi campur aduk. "Bunda, ayo kita berdoa supaya papa kalah," pinta Zahra, putri kedua saya mengajak Bunda-nya.

Doa negatif?
Tergantung. Dari sudut kita memandang. Tentu doa anak saya untuk kebaikan. Saya pun mengamini. Kami sekeluarga punya 4 suara. Tidak satu pun diberikan untuk saya. Kenapa?

"Urus keluarga masih ribet, apalagi urus warga," cetus istri saya mengingatkan.

"Anak baru lahir sehari saja sudah ditinggal keluar kota 10 hari," protesnya.

Ini bukan Pilkada. Hanya Pilkaret. Pemilihan Ketua RT. Tapi, unik, menarik dan demokratis. Unik, karena tak ada yang bersedia mencalonkan diri. Berbeda dengan wilayah tetangga. Di Nilam, Permata Depok, warga menghindar jadi Ketua RT.

Menarik. Ada puluhan hadiah. Beragam bentuknya. Mulai dari perlengkapan rumah tangga hingga gopay terendah senilai Rp50 ribu.

Panitia bekerja maraton. Pagi, siang, malam. Menyusun konsep. Mendata warga yang punya hak pilih. Dari remaja hingga orang tua. Pemilihan dilalukan offline dan online. Ini kali pertama memanfaatkan teknologi. Terlepas dari plus-minus. Itu konsekuensi di tengah pandemi.

Demokratis. Pemilihan dilakukan tiga tahap. Tahap pertama, kepala keluarga memilih calon di sektor dan lintas sektor. Hasilnya disaring 10 besar. Kualifikasi kedua, dari 10 besar dipilih menjadi 4 besar. Juga oleh kepala keluarga. Itu November lalu.

Saya unggul di dua tahapan. Pertama kantongi 22 suara, kedua 33 suara. Saatnya deg-degan. Berharap terleminasi. Tapi tak bisa dihindari. Terperangkap dalam aturan. Suka atau tidak. Pasrah saja. Seperti yang saya tulis di Kompasiana tiga pekan lalu berjudul: Saya Bukan Pilihan.

Inilah demokrasi. Singkatnya: Keputusan dari warga untuk warga. Mengutamakan persamaan hak dan kewajiban. Pun perlakuan yang sama bagi semua. Seperti kata Abraham Lincoln. Demokrasi ialah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun