GILA..! Begitu kata seorang teman setelah saya bercerita. Sembari menggelengkan kepala. Saya juga kaget.
Pelayan cafe internet di Zurich (Swiss) menyebut 50 Franc Swiss (CHF) atau sekitar Rp 780.000 (kurs sekarang Rp 15.795).
 Â
"Berapa...?" tanya saya pada petugas cafe internet itu saraya tak percaya.
Telinga saya masih bisa bedakan ucapan antara fifteen dan fifty. Saya pikir 15 CHF. Itu pun masih kelewat mahal. Saya masih belum yakin. Coba kembali bertanya, jawabannya sama. Tidak berubah. 50 CHF!
Saya cuma nongkrong di cafe internet itu sekitar 1 jam. Perkiraan saya paling banter biayanya 3-5 CHF.Â
Harga itu ketika meliput Piala Dunia 2006 di Jerman. Umumnya, orang Turki yang membuka usaha cafe internet di Jerman mematok tarif sewa 2-3 Euro per jam. Standarlah!
Swiss memang bukan Jerman. Meski bertetangga. Biaya hidup di Swiss jauh lebih tinggi. Jerman pakai mata uang Euro. Di Swiss, Euro tidak laku. Saya coba isi pulsa sodorkan Euro ditolak. Â Transaksi hanya menggunakan Franc Swiss.
Saya tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali merogoh kocek dengan lemas. 50 CHF! Alamaak...! Untungnya, saya 'nggak' jantungan. Cuma nyesak saja sedikit.
Nicole Schoewel, pemilik cafe memang ramah. Dia dengan sabar melayani permintaan saya untuk mengubah menu windows dari bahasa Jerman ke Inggris.
Sebenarnya saya tak punya rencana berhenti di Zurich. Tujuan saya adalah Geneva (baca: Zenewa). Tapi, harus berganti kereta. Dan baru bisa berangkat keesokan siang hari.
Saya akhirnya memutuskan bermalam di stasiun Zurich, kota metropolis. Saya memilih sudut tempat yang relatif nyaman. Beralaskan kertas koran. Sambil merekam gerak-gerik orang yang lalu lalang.
Semua saya nikmati. Setidaknya saya tahu warna malam di satu titik. Dari bisingnya deru mesin kereta hingga senyap tanpa suara. Hanya hembusan angin nakal yang menggoda.