Mohon tunggu...
suryansyah
suryansyah Mohon Tunggu... Editor - siwo pusat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

warga depok paling pinggir, suka menulis apa saja, yang penting bisa bermanfaat untuk orang banyak. Email: suryansyah_sur@yahoo.com, siwopusat2020@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary

Vespa Pink, Doping Maradona hingga Rendang

5 Juni 2021   16:06 Diperbarui: 14 Juni 2022   10:22 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Vespa Pink (sumber foto: novocom.top)

VESPA Bajaj jadi teman setia. Lenteng Agung-Jatinegara- terus ke Senayan, Jakarta. Rute itu saya tempuh dengan motor berwarna pink. Hampir setiap hari. Rutin.

Motor racikan India itu jadi saksi perjalanan karier saya sebagai wartawan. Berawal dari tabloid Tribun Olahraga di Jatinegara, Jakarta Timur. Tabloid olahraga pertama di Indonesia yang lahir pada 1984. Anak dari koran harian sore Suara Pembaruan yang berkantor di Cawang, Jakarta Timur.

Saya banyak belajar dari sana pada 1990. Persisnya saat memasuki semester kedua di kampus tercinta IISIP. Redpel Ponco Siswanto dan Sormardjo (almarhum) memberi saya ruang untuk belajar menulis.

Saya tipikal orang yang tidak doyan dicekoki teori. Kuliah kabur-kaburan demi mengejar pengalaman di lapangan. Jelang ujian saya pakai 'SKS' atau sistem kebut semalam. Selesai!  

Masih segar dalam ingatan. Hanya saya dalam satu kelompok 3 jurnalistik yang kuliah sambil kerja. Selain organik di Media Indonesia, saya juga freelance di beberapa media.

Tujuannya: cari uang untuk bayar kuliah. Waktu itu Rp 450 ribu per semester.  Masih terjangkau. Tiap bulan saya tabung Rp 75 ribu hingga 6 bulan dari uang gajian. Menurut ukuran saya kala itu lumayan.

Risiko cape, itu pasti. Berangkat pagi pulang dini hari. Hampir tiap minggu liputan  keluar kota. Tapi saya nikmati.

Otak saya biasa-biasa saja. Tapi berusaha melek teknologi. Saya juga tidak terlalu bebal untuk lulus S1 dalam 4,5 tahun. Meski pakai absensi khusus. Karena kuliah sambil kerja.

"Maradona dan Dop".  Itu judul opini pertama saya sebagai freelance di Tribun Olahraga pada 1991. Maradona diagungkan di Napoli. "Si Tangan Tuhan' mengantar Napoli juara Seri A 1987 dan 1990.

Kariernya kemudian menurun setelah ia kecanduan barang haram. Maradona terbukti menggunakan doping pada 1991. Dia dilarang bermain sepak bola selama 15 bulan. Setelah bebas, ia comeback bersama Sevilla. Namun dipecat setahun kemudian.

Sebagai pemula, tentu bangga tulisan saya dimuat di media. Honor pertama habis untuk traktir teman-teman kos di sebelah kampus. Kami menyebutnya Pentagon.

Tapi bukan Pentagon markas besar Departemen Pertahanan AS yang dibangun pada saat Perang Dunia II. Ini Pentagon kongkow-kongkow Kelompok 3 jurnalistik angkatan 1989.

Bahkan tulisan Maradona dan Doping itu yang mengantar saya kenal dengan Jois, wanita Manado yang ujuk-ujuk bersurat kepada saya.

Belakangan saya tahu, dia ingin kenalan karena tulisan saya. Tulisan pertama, penggemar pertama. Semangat menulis makin bergairah.

Cita-cita saya sederhana: anak Betawi yang ingin keliling nusantara. Perlahan tapi pasti. Allah memberi saya jalan. Saya dipercaya dan mendapat kesempatan dari pimpinan. Bahkan hingga menyentuh bibir Asia dan Eropa. Sekali lagi, ini hanya karena kesempatan dan kepercayaan.

Tentu prosesnya panjang. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bermodal mesin ketik, jari-jari ini menari hampir setiap hari. Pagi, siang bahkan malam.

Dulu belum ada komputer. Banyak sekali kertas HVS lecek di tempat sampah. Salah sedikit, langsung saya sobek, dan buang. Mesin bermerek Royal itu acap saya bawa ketika tugas liputan keluar kota.

*

Vespa pink terus mengukur jalan, meski kadang tanpa tujuan. Tapi itulah kehidupan, harus terus berjalan. Roda terus berputar.

Pada 1993 saya mendapat tugas meliput Basketball Merlion Cup di Singapura. Indonesia diwakili tim Aspac. Ketika itu tim Aspac dilatih Abdurrahman Padang dan manajer Irawan Haryono.

Aspac di antaranya diperkuat pemain nasional AF Rinaldo, Mohamad Rifky, Tri Adnyana Adiloka, Fictor Roring, dan Suko Waluyo.

Lima pemain negro juga diangkut. Bobby Parks yang pernah bermain di NCAA jadi bintang lapangan. Draft NBA 1984 ini juga pernah bermain di liga profesional Filipina.

Final Aspac vs tim Cina yang diproyeksikan untuk Asian Games 1994 Hiroshima. Posturnya tinggi besar. Secara skill dan teknik di atas rata-rata.

Awalnya Momon- sapaan Abdurhman Padang-- menurunkan dua pemain asing. Tapi melihat lawan terlalu tangguh, semua pemain lokal ditarik ke bench. Aspac akhirnya keluar sebagai juara. Skor akhir saya lupa.

Kami pulang ke Jakarta dengan senang. Kehidupan normal kembali dimulai. Berangkat pagi pulang dini hari. Kadang melanjutkan bikin berita dari kos-kosan hingga tertidur di atas mesin ketik.

SEA Games Chiangmai, Thailand 1995 tugas yang tidak ringan.  Kantor hanya mengirim saya sendiri. Melelahkan itu pasti. Lebih dari 40 cabang olahraga dipertandingkan.

Bersama Ruud Van Nistelrooy (Belanda)
Bersama Ruud Van Nistelrooy (Belanda)
Butuh perhitungan matang. Butuh strategi jitu dalam liputan. Tiap hari harus cermat membaca jadwal pertandingan dan menghitung peluang medali. Berpacu melawan waktu dan jarak antar venue juga wajib. Manajemen waktu jadi kata kunci.

Tidur pasti tak pernah nyaman. Bahkan saya pernah bermalam di MPC (Main Press Center). Pulang pagi ke hotel cuma ganti baju. Mata masih sepet, langsung liputan. Sialnya kalau dapat liputan yang jaraknya jauh dan Indonesia berpeluang meraih emas. Kejar..!

Rendang selalu jadi andalan saat tugas keluar negeri. Termasuk saat saya meliput Piala Eropa 2004 di Portugal, Piala Dunia Jerman 2006, Piala Eropa 2008 di Swiss dan Austria serta Piala Eropa 2012 di Ukraina dan Polandia serta tugas lainnya.

"Rendang, Anda pasti dari Indonesia. Saya suka," begitu wartawan bule menyapa saat saya makan di tengah liputan.

Rendang dan rokok acap jadi perantara perkenalan dengan wartawan asing. Dari sana saya dibantu wartawan Belanda bertemu legendaris Johan Cruyff di Stuttgart. Ketika itu saya mengintip timnas Belanda latihan. 

Saya juga sempat wawancara dan foto  bersama Ruud van Nistelrooy, Arjen Robben dan pemain lainnya. Bahkan legendaris Marco van Basten yang saat itu melatih De Oranje di PD 2006 Jerman. 

Tentu ini semua karena kemauan, kesempatan dan kepercayaan. Vespa pink dan rendang akan tetap terkenang. *

Suryansyah
Warga Depok Paling Pinggir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun