JARAKNYA tak jauh dari apartemen yang saya tinggali di Pratersrase. Hanya dua pemberhentian stasiun kereta, saya tiba di Stephanprase. Tak lebih dari 10 menit perjalanan. Distrik 1 ini kawasan orang-orang kaya. Tempat mangkalnya turis kelas atas. Bukan seperti pelancong di kawasan Jalan Jaksa di Jakarta Pusat.
Stephanprase boleh jadi tak pernah tidur. Makin larut malam, makin banyak turis berseleweran. Ada yang minum bir atau kopi di cafe-cafe. Ada juga yang menikmati keindahan bangunan-bangunan tua bersejarah.Â
Di sisi lain, belanja di toko-toko suvenir atau pemata yang tersedia. Meski banyak orang lalu lalang, tempat ini nyaris tak bising seperti fan zone yang menyaksikan pertandingan di layar lebar. Padahal, di tiap sudut atau cafe di Stephanprase juga disediakan televisi buat nonton bareng pertandingan sepakbola. Tapi, mereka tetap dingin, sedingin kota Wina di malam hari.
"Mereka menikmati pertandingan-pertandingan Euro, tidak gaduh seperti suporter lainnya," Johanna salah satu pemilik cafe yang buka 24 jam.
Bangunan eksotik di sekitarnya boleh jadi membuat mereka tenang. Di tengah-tengah hegemoni Euro sebuah gereja terbesar di Wina, Stephansdom, juga banyak dikunjungi turis mancananegara.Â
Pintu masuk gereja tertulis: Im Stephansdom W.A Mozart-Requiem. Kabarnya, di gereja inilah dulunya Mozart beraktivitas. Untuk masuk ke Stephansdom, dipungut bayaran 10 euro. Belum termasuk lilin yang digunakan buat berdoa. Dari pucuk gereja yang tingginya sekitar 300 meter kita bisa melihat keindahan kota Wina yang dikelilingi beberapa danau dan perbukitan.
Yang tak kalah menarik, masyarakat Austria masih percaya magis. Itu terhampar dengan adanya sebuah sumur permintaan. Padahal, masyarakatnya masih banyak yang atheis atau tak percaya Tuhan. Jika ingin meminta sesuatu di sumur permintaan tersebut, kita harus melempar uang recehan atau kertas sembari membalikkan badan.
Konon, bila percaya, permohonannya bisa terkabul. Sumur yang luasnya sekitar 7x15 meter dengan kedalaman 15 meter itu tak bisa  diabadikan dengan bidikan kamera. Padahal, letaknya di tengah-tengah keramaian pusat pertokoan.
Ketika Austria dijajah oleh Jerman pada 1932, sumur permintaan tersebut jadi tempat perlindungan pejuang Austria. Tak pelak, sumur permintaan tersebut diabadikan oleh pemerintah Austria sebagai saksi sejarah.
Banyak orang mencari kedamaian dan kontemplasi di Katedral St. Stephen, terutama di Adven, untuk mempersiapkan waktu terbaik tahun ini dan Natal yang akan datang. Konser Advent di Katedral St. Stephen mengundang saat-saat jeda - saat-saat di mana seseorang dapat menarik diri dari hiruk pikuk musim pra-Natal untuk merenungkan kembali hal-hal penting.
Malam-malam atmosfer ini dirancang dengan musik kamar yang khusyuk dan lagu-lagu Advent yang paling indah dan ditafsirkan secara ahli oleh solois dari Vienna Chamber Orchestra.
Ansambel "Solois dari Vienna Chamber Orchestra" didirikan pada tahun 1983. Oleh karena itu, para musisi mengikuti tradisi lama yang umum di semua orkestra yang sudah mapan, seperti Vienna Philharmonic.
Selalu dengan tujuan mengembangkan keterampilan musik. Selain memainkan musik dalam orkestra dalam formasi musik kamar, ini terjadi dengan sangat efisien dan menyenangkan. Sejak awal ansambel, para musisi, semua anggota Orkestra Kamar Wina yang terkenal, telah mengembangkan repertoar ekstensif di semua era untuk ansambel yang berbeda.Â
Ansambel memiliki siklus konsernya sendiri dan konser individu di Wiener Konzerthaus, dan konduktor dan penyanyi solo terkenal mendokumentasikan kualitas artistiknya.
Matahari perlahan menjauhi bumi Austria. Saya pun berlalu. Saya menyisir ke distrik 2, tempat mangkalnya anak-anak muda. Namanya Schottenring.Â
Ya, seperti dua sisi mata uang dengan Stephanprase.  Lokasinya mirip Taman Lawang, Jakarta Pusat. Tapi, tak ada bencong di  Schottenring. Areal ini acap disebut sebagai tempat anak-anak muda mencari jodoh. Bukan prostitusi.
Di keremangan malam, mereka bersantai di tepi Sungai Donau. Tak sembarang orang bisa memancing di danau tersebut. Mereka harus punya surat izin memancing dan bayar 10 euro. Di sisi sungai, berdiri cafe-cafe dengan kursi kayu berjajar tempat orang bersantai minum  bir.Â
Hegemoni Euro 2008 di distrik ini juga cukup terasa. Karena, di cafe-cafe disediakan layar lebar. Cukup beli bir 5 euro, pengunjung bisa menikmati nonton bareng. Â Brosur-brosur soal nonton bareng Euro maupun konser musik berserakan di tiap meja.
Selepas pertandingan berakhir, mereka baru memasuki tempat hiburan malam yang buka hingga jam 05.00 pagi.Â
Selebihnya,...terserah mereka. *
Suryansyah
Warga Depok Paling Pinggi
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H