Jemari tangan di genggaman.
Ibu beradu Ibu.
jalan raya luas membentang, panjang menghampar, menembusi bukit, sesekali melingkarinya, seringkali memeluknya, dan sesekali membelahnya. Seringkali menjembataninya. Kaki-kaki kokoh menjejak jauh di jurang, menopang jalan aspal menjulang.Â
Halimun.
Halimun.
Halimun.
Jemari tangan masih di genggaman.
Riang tawaku bersambut senyum magismu.
"Kuwung," ujarku.
"Sankara!" ujarku lagi.
Kau masih tersenyum, balik bertanya,
"Bukankah kunang-kunang yang paling kau rindukan?"
Belalak mataku mengerjap. Mengiyakan. Namun saat ini ada yang merampas rinduku hingga ke tepi-tepi nadi.
Kubawa kau setengah berlari.
Mumpung jalanan sepi. Tak selintas pun kendaraan laju melintas. Kabut bagai selimut tipis yang menghela waktu.
Tiba di titik pandang lapang.
Kau dengan mata takzim yang meruang.
Jauh di seberang, lengkung sempurna pesona tujuh warna menghunjam rangkaian hutan Cikeusik.
Jemari tangan masih di genggaman, erat-lekat. Yin dan Yang.
Bisikmu perlahan,
"Sang Katumbiri sudah datang"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI