Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Catatan Perjalanan: Musim Duku di Ciboleger

17 Januari 2021   07:07 Diperbarui: 17 Januari 2021   07:43 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Baduy juga banyak pohon Duku, selain Durian, Rambutan dan Manggis.

Pekan lalu saya ke Ciboleger. Sebenarnya saat turun dari kereta api jurusan Rangkasbitung, mata saya sudah jelalatan melihat banyak sekali karung-karung transparan berisi buah bulat-bulat berwarna kuning langsat. Terbayang di kepala: itu buah duku. Namun seorang teman seperjalanan berujar,

"Itu duku atau kentang kecil sih?"

***

Saya adalah penggemar berat buah duku. Dua kilogram buah duku bisa saya habiskan sendiri.  Dulu, saat saya kecil, dan Bapak pergi ke luar kota, jika Bapak bertanya,

"Mau oleh-oleh apa?"

Seringnya saya menjawabnya dengan satu kata: duku.

Dan ketika Bapak pulang ke rumah dengan tentengan buah duku, saya akan menyambutnya dengan mata berbinar. Tangan saya menjadi tangan yang paling sigap diantara tangan-tangan lain di jalan dr Wahidin 61B: tangan dua adik lelaki saya, Ibu, dan bulik saya. Saya menjadi penghasil sampah kulit duku terbesar di rumah itu.

***
Pada bapak-bapak yang berada di saung dengan berkarung-karung duku itu saya tanyakan apakah itu buah Duku atau buah Kentang (eh, kentang teh buah atau sayur ya?). Dijawab bahwa itu buah Duku. Hati saya girang sekali.

Setelah kami menyelesaikan brunch kami di warung yang 'nyempil' di dekat Pasar Pisang, kami bergegas memasuki Elp yang kami sewa pulang pergi. Warung 'nyempil' itu rupanya membuat saya kenyang dengan lauk rasa lapar, plus  terong balado, kerupuk dan kikil bumbu rujak. Ditambah ampela goreng hasil kolaborasi dengan salah satu teman seperjalanan saya, Riana, yang tidak suka ampela namun lebih menyukai ati.

Cuss...!
Kami meluncur ke Ciboleger.

Di tengah perjalanan, sopir Elp yang kami tanya dari mana asal Duku-Duku itu menjawab,

"Eta teh seueur, Neng, di dinya. Kalau mau beli sama adik saya aja di Ciboleger".

Perjalanan dari Stasiun Rangkasbitung hingga Ciboleger memakan waktu kurang lebih 2 jam. Jalanan yang penuh lubang, tanjakan, tikungan memberikan predikat untuk perjalanan kami "cukup melelahkan". Terguncang-guncang. Terdorong ke kanan dan ke kiri. Terpapar angin dari pintu Elp tanpa AC. 

Sempat ciut hati kami saat Elp melambat di belakang mobil Avanza yang berhenti di tanjakan, lalu Sang Sopir Avanza keluar dari pintu depan kanan. Mobil itu berhenti di sisi kiri badan jalan. Rupanya Si Avanza berwarna grey metalik itu tidak kuat menanjak. Elp yang kami tumpangi dan satu mobil di depan kami yang sedari tadi mengantri harus menyalip Si Avanza itu dari sisi kanan. 

Jalanan memang menanjak curam. Barangkali inilah yang kami syukuri: Elp bermesin diesel berbahan bakar minyak solar lebih tangguh di tanjakan meskipun suara mesinnya -yang memang sudah tua- berisik sekali. 

Bahkan saya musti berteriak-teriak saat berbicara dengan satu orang Baduy Luar yang diangkut Elp sewaan kami ini. Kami berenam menikmati perjalanan dengan happy. Teman-teman saya gembira karena puluhan durian menanti, dan saya gembira karena berharap sekian kilogram buah duku menanti.

Setiba di terminal Ciboleger kami disambut oleh tugu khas Ciboleger dengan patung-patung yang menggambarkan sosok warga Baduy Dalam, lelaki, wanita, anak-anak yang berpakaian serba putih dan hitam tanpa alas kaki. 

Kami juga disambut dengan pemandangan penuhnya tempat parkir di terminal itu. Ditambah pemandangan rombongan ibu-ibu berjilbab merah, serta rombongan anak-anak sekolah. Tampaknya mereka akan melakukan trip ke Baduy. Entah ke Baduy Dalam atau Baduy Luar. Saat itu hari Sabtu. Banyak rombongan yang baru tiba. Biasanya mereka akan melakukan perjalanan hari itu juga dan kembali esok hari.

Sopir Elp, namanya Mang Iyen, lantas memanggil adiknya. Saya lupa namanya. Rupanya adiknya berjualan di terminal itu di sebelah penjual makanan dan warung bakso. Adik Mang Iyen menjajakan dagangannya di bawah tenda terpal biru yang tidak permanen. Tenda biru itu disangga dengan tiang bambu. Dagangannya dijajakan di atas meja bambu. Tampaknya wilayah Ciboleger ini tidak jauh-jauh dari "bitung" atau sejenis bambu. Namun saya tidak melihat buah duku di sajian yang dijajakan adik Mang Iyen. Yang tampak adalah durian! Bertumpuk-tumpuk.

Datang tergopoh-gopoh adik Mang Iyen ke Elp yang kami tumpangi. Lucunya, ia datang sambil menenteng sebuah durian ukuran besar. Dan bukan buah duku. Ia lalu sibuk membujuk kami untuk membeli durian dagangannya. Sedangkan kami sibuk menanyakan buah duku. Dimana duku yang mau kami beli; berapa harga duku per kilogramnya; dukunya manis atau tidak; dan seterusnya.

Akhirnya adik Mang Iyen menyerah. Tidak lagi menawarkan durian. Ia mengatakan bahwa harga duku per kilo Rp 5.000,- saja dan menanyakan berapa kilo duku yang kami mau beli. Kami jawab 5 kilo saja. Lalu dia menawarkan satu karung berisi 20 kilo dengan harga tertentu. Kami mengajukan request agar satu karung duku itu diantar ke tempat kami bermalam. Adik Mang Iyen setuju sekarung duku akan diantarkan ke tempat yang disepakati hari itu juga sekitar jam 2 siang. Deal ... ! Bungkus!

Betapa senangnya kami -dan saya terutama- bisa menikmati duku, Si Buah Kesayangan. Kami bukannya tak suka buah durian sehingga menolak tawaran durian dagangan adik Mang Iyen. Tapi jauh-jauh hari, kami sudah memesan kepada salah satu dulur Baduy Dalam kami untuk membawakan 20 butir buah durian.

Selama berada di tempat singgah kami, duku dan durian adalah "cemilan" setia kami. Bertambah senangnya kami ketika satu demi satu dulur Baduy Dalam mengunjungi kami. Pasokan durian juga bertambah karena beberapa diantara mereka menggendong dan menenteng durian hasil kebun mereka untuk kita nikmati bersama. Terbayang, mereka harus berjalan kaki sejauh 12 km dari desa mereka menuju tempat kami singgah dan ..... tanpa alas kaki.

Indah sekali pertemuan dan akhir pekan kami. Ada para Ayah yang dituakan di Baduy Dalam, ada satu Ambu, ada empat gadis Baduy Dalam yang menyertai orang tua mereka maupun yang bersama adiknya, ada jejaka dan pria Baduy Dalam, yang turut serta dalam "kembul bujana" alias makan siang bersama sebelum kepulangan kami ke Jakarta.

Sambungan tali persaudaraan ini terjalin dari latar belakang, kepercayaan, adat istiadat, usia dan kebiasaan yang berbeda. Mereka yang tanpa listrik dan alas kaki, dan kami yang merasa sengsara jika tanpa listrik dan alas kaki. Saya selalu berharap semoga Baduy Lestari.

***

Duku dan durian dari tanah Baduy yang masih murni dan masih menggunakan pupuk alami serta doa-doa dari ketulusan hati nyata lezatnya bagi kami. Tinggal satu lagi: manggis. Konon, manggis Baduy enak sekali rasanya. Moga-moga bertemu musim manggis Baduy suatu hari nanti.

Ditulis ulang pada 17 Januari 2020 dari perjalanan beberapa tahun lalu sebelum pandemi Covid-19 melanda negeri ini. 

Catatan Penulis:
Elp: barangkali yang dimaksud adalah Isuzu Elf yang banyak digunakan sebagai moda transportasi dari dan ke Rangkasbitung-Ciboleger.

Eta teh seueur, Neng, di dinya: itu tuh banyak, Neng, di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun