Aku memandangnya tanpa kedip.
Matanya.
Duh, matanya.
Telaga hijau kelam penuh misteri yang siap menelan seluruh tunas-tunas puisi yang tercekat di tenggorokan.
Redup. Dan tidak jalang.
Teduh. Dan tidak meradang.
Tajam penuh binar pendar bulan. Bukan sengatan matahari yang menyilaukan.
Tak berubah posisi, aku mematung memperhatikan gerak bibirnya berucap tentang sebuah dimensi yang amat sangat dirindukannya. Yang password-nya hingga kini belum juga ditemukan. Belum mereka temukan, tepatnya.
Di hadapannya, seorang perempuan tak kalah jelita dengan binar mata yang sama, pun menatap dalam, kepada dua bola mata itu. Bibirnya tersenyum. Tapi tidak hatinya. Hanya gesture-nya yang tertahan memendarkan warna kelabu.
Aku, Si Invisible ini, tercekat saat melihat perempuan manis itu berdiri, menghampiri Si Mata Kelam, merapikan kerah jaket bagian belakang lelaki indah itu, mengibaskan dari ketombe-ketombe nakal sambil berkata perlahan,
"Banyak amat sih, Mas, ketombenya...."
Aku tahu sebenarnya bukan itu yang ingin ia katakan. Lebih dari sekedar kibasan sayang. Lebih dari segunung rasa, sesamudera harapan.
Kuperhatikan, jemari putihnya mengusap-usap rambut indah Si Mata Kelam. Mengusap rahang kiri tempat tumbuh rambut-rambut cambang yang baru dibabat habis kemarin siang.
Ketika pandang mata mereka beradu, dan melihat gerak bibir sapa saling berbalas tanpa suara diantara mereka: tak tahan aku melihat lelehan hatiku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI