kita pernah di sini
berperahu
kau mendayung
aku berpegang payung
hujan rintik
perahu melaju
kau bacakan aku sebuah puisi
begini:
Jatiluhur
Ayatrohaedi
Impian abadi leluhur
menemu bentuk.
Tanah-tanah gersang
menjadi subur.
Bagai disihir
air pun mengalir
lewat padang-padang hijau
menghimbau.Sangkuriang nanar memandang:
Kerja yang terbengkalai
akhirnya selesai.
Tubuh-tubuh baja, lengan-lengan perkasa
menyusun batu demi batu
dinding telaga raksasa.
Membendung
napsu angkara manusia
yang berpusat pada: Aku,
Sangkuriang kesiangan.
Dayangsumbi membuahkan senyum
ke bumi: Inilah cintaku
pada turunan, anak-cucu
yang datang kemudian.
Tubuh-tubuh semampai, tangan-tangan gemulai
menanam benih demi benih
padang kencana.
Perwujudan ikrar
ketika menyingsing fajar.
Cintaku pada turunan
yang datang kemudian.Impian abadi leluhur
menemu bentuk.
Tanah-tanah subur
bukan lagi impian.
Tapi: kenyataan.1969
Sumber: Pabila dan di Mana (PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta)
aku menyimak
angin diam seketika
hujan berhenti
kau bilang: larung sekarang, Dhiajeng
hati-hati kusentuh bunga dalam dekapan
tiga kuntum bunga Tunjung dari Tanah Lembang
payung kuingkupkan
kembang-kembang kukambangkan
kupandangi mereka dengan sayang