Kepada Refi dan Kang Atus, saya bilang,
"Mun aya payung di mobil mah kita bawa aja ke dalam".
Maksud saya 'ke dalam' adalah ke situs kuno Keraton Kawali, karena harus melewati semacam batas pagar gerbang masuk.
Kang Atus senyum-senyum. Diam-diam pemerhati dan pelaku budaya di Kota Galuh Pakuan ini kurasakan mulai membacai saya. Saat perkenalan di bandara tadi dia sempat terlihat sangat penasaran mengapa saya yang asli berdarah Jawa tulen ini mau berkunjung dan belajar tentang sejarah Galuh Pakuan. Ke situs Kawali ini, adalah setengah paksaan dari Kang Atus, sebelum tujuan saya menuju sebuah danau tua.
"Mau hujan ya Mbak?
Tanyanya.
"Iya, Kang. Tapi kayaknya sih gerimis aja."
Refi menimpali dengan permintaan maaf karena dia hapal sekali, dan tak akan bisa  menemukan payung di mobil rentalan dari Tasikmalaya.
Akhirnya kami menjelajahi situs kerajaan Kawali dengan hati yang tabah menerima riris gerimis yang sebentar lagi menghujani kami.
Kang Atus bilang bahwa gerimis yang nanti jatuh ke bumi dan membasahi kami itu adalah pertanda alam yang baik untuk kedatangan kami di situs kuno ini. Artinya, alam menyambut kedatangan kami, orang-orang yang semoga terjaga niat baiknya untuk mengunjugi para leluhur dan mau memberikan hati untuk sejarah keberadaan. Sangkan paran.
Dan benar saja. Gerimis jatuh. Tepat saat saya berada di depan abu jenazah Dyah Pitaloka. Riris Gerimis yang tipis. Sangat tipis. Super tipis. Serta merta alam menjadi terasa senyap, Â hening dan syahdu.
#deelestari #aromakarsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H