"Teh, saya nemu selendang ini di dekat Mata Air Cikawali. Dan saya sepintas tadi melihat Teteh sedang berjalan jauh di depan saya di mata air itu. Pake kaos biru. Makanya saya kejar. Saya rasa ini selendang Teteh."
Jati Wesi mengangsurkan sehelai kain tenun Sumba kepadaku. Panjang. Tenunannya menggambarkan perlambang khas Sumba: mamuli, udang, rumah adat, dan sosok seorang lelaki Sumba (lengkap dengan gambar kepiting di area genitalnya). Kain itu benar milikku.
Aku terdiam dan otomatis merabai leherku sendiri. Selendang yang kukalungkan tak ada di sana. Tapiiiiii..... aku sama sekali belum sempat ke Mata Air Cikawali. Lha wong aku baru saja datang bareng sama Refi dan Kang Atus. Baru berjalan berkeliling sebentar di situs ini. Piye to ini?
Aku menerima selendang itu dengan hati tak karuan. Darahku tersirap sedemikian sehingga bila udara di situ tak ditingkahi dengan angin lembut yang menyapa sepoi-sepoi, maka aku sudah pasti pingsan dengan sempurna. Semacam gerakan refleks, aku pun mengalungkan kain Sumba itu di leherku. Dua kali untai, karena kain ini cukup panjang.
Kupaksakan diriku tersenyum pada Jati Wesi. Senyum tertulus yang bisa kuberikan.
"Makasih, yaaa .... "
"Reno. Namaku, Reno," ujarnya sambil mengulurkan tangan. Aku menjabatnya erat. Untunglah dia tidak menyebut nama Jati Wesi. Bisa mati suri aku bila itu terjadi.
"Galuh ....," kataku memperkenalkan diri.
"Sip! Okay. Jaga baik-baik selendangnya ya, Teh Galuh ....." Ujar Reno padaku. Tangannya bersidekap di dada. Lalu ia membuat gerakan berputar membalikkan badan, melambaikan tangannya tanda perpisahan.
Aku tersenyum, melambaikan tangan, dan masih dicekam rasa bingung memahami semua kejadian ini.
Sepeninggal Reno, aku bangkis-bangkis lagi.