Aku 100% gelagapan!
Sialnya, ketika aku gelagapan begitu, selalu saja gerakanku menjadi serba salah. Kali ini mataku mengerjap-ngerjap seperti damar tertiup angin musim pancaroba.
Melihatku dalam kekagetan, Jati Wesi malah tersenyum. Manis sekali. Lengkap dengan lesung pipit di pipi kirinya.
Oh, tidak!
Tuhan, aku nggak tahan liat lesung pipit.
Maka aku terpejam secara otomatis.
"Teh ..... ?!"
Sapanya lagi.
"Abis liat hantu ya?"
Kali ini senyum Jati Wesi berubah menjadi tawa tanpa suara.
"Ehhhh .... ," ujarku. Kenapa pula musti kata seru macam ini yang keluar menjadi energi bunyi dari mulutku? Aku merutuk pelan. Dalam hati.
"Maaf .... Kamu mirip banget sama ......... ," kalimatku menggantung. Masa ya kubilang dia mirip Jati Wesi yang ada di novel Aroma Karsa sih? Belum tentu dia suka baca. Baca novel pula. Kalaupun suka baca, mungkin dia tipe cowok yang bacaannya referensi ilmiah, bukan sastra. Atau mungkin dia malah mahasiswa S2 yang lagi nyusun disertasi tentang fungsi mitokondria dan kimia selular serta manfaatnya untuk dunia pengobatan. Tapi, ngapain juga 'anak semacam yang kukhayalkan' itu ada di sini: situs keraton Kawali?
Menyadari bahwa Jati Wesi menunggu ujung kalimatku, maka kuteruskan saja kalimatku dengan tambahan " ..... sama sepupuku ...."
Baru deh aku bisa menutup kalimatku dengan senyum lega. Senyum lega yang pasti terlihat aneh.
Jati Wesi tersenyum ramah.
Wajahnya menunjukkan bahwa Jati Wesi adalah bukan anak yang kurang ajar ketika berhadapan dengan perempuan. Dari gesture tubuh, mimik muka, dan atmosfir di sekelilingnya, aku merasa cowok ini dibesarkan dengan baik oleh ibunya.