Waktu itu aku diajak ke pasar sama Al, kakak sepupuku yang jarak umurnya denganku dua tahun. Dia lebih tua. Kami naik mobil March putih ke pasar tradisional. Dua sepupuku yang lain juga ikut. David nyetir. Cahyo menemaniku duduk di jok belakang.
Pasar tradisional yang kami tuju rupanya melewati warung langganan Al. Ada dua menu favorit di situ: sate sapi maranggi dan ikan pedas kuah kuning. Di warung itu kami berhenti dan memesan dua menu favorit tersebut.
Sate maranggi adalah juga menu favoritku. Dulu, sebelum tol Cipularang ada, aku sering singgah di Cibungur, memesan sate Maranggi plus kelapa muda. Di wilayah Cikampek, kebetulan ada juga sobatku, Teh Widya, yang merekomendasikan sate maranggi dekat rumahnya di perumahan dinas Pupuk Kujang. Sate Marangginya juara, kata teh Widya.
Pun di kantor, jika ada acara jamuan prasmanan untuk pelanggan, sate maranggi seringnya ditambahkan pada daftar hidangan yang tersaji selain pepes ikan jambal, dan serba pepes lain dari Walahar.
Intinya, sate maranggi sapi, adalah salah satu jenis makanan Indonesia yang masuk daftar favoritku. Makanya ketika di warung Haji Junus saat Al dan sepupu-sepupuku pesan sate maranggi untuk lauk makan siang, saya langsung menimpali usulan Al yang 10 tusuk menjadi  20 tusuk.
Pesanan kami tinggal, dan melanjutkan perjalanan ke pasar. Nanti sekembali dari pasar, pas dua pesanan sudah jadi akan kami ambil.
Sebenarnya, aku agak was-was begitu mendengar kata 'pasar tradisional'. Aku punya kisah di masa kecil terkait pasar tradisional yang kurang menyenangkan.Â
Beberapa kali saat duduk di bangku SMP dan SMA dan diminta Ibu menemani ke pasar sebagai sebuah bakti anak perempuan satu-satunya, yang terjadi justru peristiwa memalukan untuk dikenang sepanjang umur.Â
Bagaimana tidak, setiap kali ke pasar tradisional, setiap kali itu pula aku pingsan! Kebayang 'kan betapa repotnya Ibu. Kalau sekarang kubayangin, Ibu pasti gemes bin ngomel riuh rendah.Â
Memang sih, pingsannya bukan pingsan yang sangat tiba-tiba trus jatuh brug! Tidak, tidak! Tidak seperti itu kejadiannya, melainkan didahului dengan efek mataku yang tiba-tiba terpejam sangat rapat tanpa ku minta, dan tak bisa kubuka. Istilahku 'mripatku prepet-prepet'.
Jika sudah ada 'tanda' itu, aku akan 'matur' ke Ibu,
"Ibu, dalem rasane badhe semaput".
Jika sudah begitu, biasanya Ibu akan dengan sigap menitipkanku ke 'bakul' (bahasa Jawa: para wanita penjual) apapun yang terdekat. Kadang aku dititipkan ke 'bakul' tahu, kadang ke penjual ketela rambat, kadang aku dititipkan ke penjual sayur. Rata-rata ke penjual yang punya kios. Dan mereka akan berbaik hati memberiku minuman teh manis hangat.Â
Di Jawa Tengah, memang lazimnya suguhan minuman untuk tamu adalah teh manis hangat. Selebihnya setelah sekian kali kejadian aku pingsan, Ibu memintaku untuk menunggu saja di sepeda motor.Â
Saya hanya menjadi pengantar yang memboncengkan Ibu ke pasar. Tak lebih. Barangkali sesungguhnya ada agenda besar Ibu untuk transfer knowledge kepadaku tentang seluk beluk pasar hingga nantinya menjadi bekal ketika aku sudah menjadi seorang Ibu. Seni berbelanja di pasar tradisional termasuk upacara tawar menawar. Rasanya aku harus 'salim sungkem' ke Ibu, untuk 'nyuwun pangapunten' karena dulu tidak bisa membantu Ibu meringankan beban bawaan belanjaan.
Saat mobil terparkir di pasar tradisional setelah perhentian di warung makan itu, aku diam tak banyak bicara. Namun ketika destinasi pertama tercapai, sebuah toko kelontong di sebuah gang, reaksi tubuhku tak bisa kubendung: hampir mirip kejadian saat SMP!
"Pid! Aku boleh nyender kan di bahu kamu?" Kataku ke David. Dia mendelik melihat mukaku yang pucat setengah pasi.
"Kalau sakit tuh gak usah dipaksain. Sini gua anter ke mobil"
Aku menggeleng. Aku segan sama Al, kakak sepupu kami dari Budhe Pambarep.
"Nggak ah. Aku cari tempat duduk aja buat cari udara segar"
Aku berjalan menyusuri gang dan menemukan sebuah bangku beton yang nyaman untuk duduk. Duduklah aku di bangku itu. Rupanya pemiliknya adalah Ibu-Ibu penjual gado-gado. Sekilas aku melihat seekor kucing hitam legam menggeliat bangun di bangku bambu lalu beranjak pergi. Aku membeli kerupuk putih dan kerupuk bantal berwarna coklat yang menggoda dari balik kaca kaleng warna biru. Sambil menunggu para sepupu berbelanja, aku ngobrol dengan Si Ibu pemilik warung.
Rasanya sih, tubuhku sudah mulai pulih. Ngobrol ngalor ngidul dengan Ibu Penjual Gado-Gado ternyata bisa meredakan rasa tidak nyamanku. Akhirnya acara belanja para sepupu pun selesai. Kami harus kembali ke warung makan Haji Junus untuk mengambil pesanan ikan kuah kuning dan sate maranggi. Daan... , kali ini reaksi tubuhku benar-benar tak bisa dinyana. Entah bagaimana, perutku mual-mual, 'ng', pusing, gak keruan, dan hidungku menolak aroma itu: aroma sate maranggi! Sate kegemaranku! Aku bahkan hoek-hoek seperti perempuan hamil muda di trimester pertama. Begitu mobil berhenti di sebuah Alfamart, aku tanpa menunggu lama langsung membuka pintu dan keluar, dan bilang ke Cahyo,
"Yoooo .... please deh. Jauh-jauhin bungkusan satenya dariku."
Cahyo bengong tapi tak urung ia memindahkan bungkusan berisi 20 tusuk sate maranggi ke sisi kanan pinggangnya.
Di luar mobil. Hoek-hoek ku menjadi-jadi. Tapi tak ada apapun yang kumuntahkan. Tidak sebutir zarahpun!
Ketika sampai di rumah, tak sepotong daging sate maranggi yang sanggup menggugah seleraku. Lebih gak masuk akal lagi, setelah kejadian itu, aku nggak bisa menikmati hidangan dari daging sapi. Entah itu bakso, rendang, abon, dendeng, apapun yang berbahan dasar sapi. Bahkan rawon. Rawon terenak sedunia bikinan Mbak Yuyun di Keputren Kembang Sepatu Malang pun tak bisa kunikmati. Oalah, Yung, Biyuung. Rugi sekali saya makan rawon hanya kuahnya saja. Bahkan kuahnya yang enaknya sundul langit itu pun membuat saya merasa menyesal setelah melahapnya. Ya Allah Ya Robbi Ya Rasulullah. Paringana sih gunging pangaksami.
Padahal aku ini penggemar berat bakso. Entah itu bakso malang depan Masjid Palatehan, Bakso Kumis Blok S, Bakso Lapangan Tembak, Bakso Boedjangan, atau bakso manapunlah itu.
Jika di dalam agama Hindu dikenal ada sad rasa, yaitu enam rasa yang dirasakan indera pencecap yang terdiri atas swadu (manis), amla (masam), tikta (pahit), lawana (asin), katu (pedas), dan kasaya (sepet), maka bagiku ada Sapta Rasa. Yaitu Sad Rasa ditambah yang satu ini: rasa menyesal setelah mengunyah daging sapi. Seperti begini: sudah tahu salah, tapi dilakukan juga, ditambah rasa eneg, mual, dan aneh yang ada di rongga mulut, terutama lidah.
Ah, bersyukurlah kalian yang masih bisa menikmati lezatnya daging sapi dan steak welldone-nya Prabu Revolusi di Jalan Kramat Pela sebelah Kopi Nyai. Hmmmm.... begitu lembut, juicy, dan maknyusss. Untuuung saat itu aku masih bisa menikmatinya sebelum kejadian sate maranggi Haji Junus.
Lalu malam ini. Ketika perutku menagih diisi, dan gofood 'ngiming-imingi' dengan menu mie ayam, tetiba mataku tertuju pada menu sehat dengan judul mie ayam vegetarian.
Harganya plus ongkir dengan cash jadi Rp. 29.000,-. Not bad. Dan begitu pesanan datang, alhamdulillah... tidak ada efek 'rasa menyesal' setelah mie ayam tandas habis. Padahal ada dua buah bakso bulat dengan penampilan yang nyaris sama dengan bakso kecil di Bakso Boedjangan Melawai. Keabu-abuam dengan tekstur yang sangat mirip bola-bola daging.
Mie nya memiliki tingkat kekenyalan dan kelembutan yang pas. Taburan irisan jamur yang warnanya coklat kehitaman memiliki komposisi dan porsi yang seimbang. Demikian pula tingkat kematangan sayur hijau yang menjadi faktor warna kontras pada sajian berwarna paduan kuning pucat, coklat-hitam, dan abu-abu.
Ah! Saya gak salah pilih.
Sabda Vegie Food Pondok Indah! Dia bakalan jadi tempat yang sering kuhampiri dengan order Gofood manakala aku kepingin makan bakso tanpa harus merasakan rasa yang ke-7: rasa menyesal.
TING!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H