Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sad Rasa & Sapta Rasa

16 Desember 2019   23:38 Diperbarui: 18 Desember 2019   04:37 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ibu, dalem rasane badhe semaput".

Jika sudah begitu, biasanya Ibu akan dengan sigap menitipkanku ke 'bakul' (bahasa Jawa: para wanita penjual) apapun yang terdekat. Kadang aku dititipkan ke 'bakul' tahu, kadang ke penjual ketela rambat, kadang aku dititipkan ke penjual sayur. Rata-rata ke penjual yang punya kios. Dan mereka akan berbaik hati memberiku minuman teh manis hangat. 

Di Jawa Tengah, memang lazimnya suguhan minuman untuk tamu adalah teh manis hangat. Selebihnya setelah sekian kali kejadian aku pingsan, Ibu memintaku untuk menunggu saja di sepeda motor. 

Saya hanya menjadi pengantar yang memboncengkan Ibu ke pasar. Tak lebih. Barangkali sesungguhnya ada agenda besar Ibu untuk transfer knowledge kepadaku tentang seluk beluk pasar hingga nantinya menjadi bekal ketika aku sudah menjadi seorang Ibu. Seni berbelanja di pasar tradisional termasuk upacara tawar menawar. Rasanya aku harus 'salim sungkem' ke Ibu, untuk 'nyuwun pangapunten' karena dulu tidak bisa membantu Ibu meringankan beban bawaan belanjaan.

Saat mobil terparkir di pasar tradisional setelah perhentian di warung makan itu, aku diam tak banyak bicara. Namun ketika destinasi pertama tercapai, sebuah toko kelontong di sebuah gang, reaksi tubuhku tak bisa kubendung: hampir mirip kejadian saat SMP!

"Pid! Aku boleh nyender kan di bahu kamu?" Kataku ke David. Dia mendelik melihat mukaku yang pucat setengah pasi.
"Kalau sakit tuh gak usah dipaksain. Sini gua anter ke mobil"

Aku menggeleng. Aku segan sama Al, kakak sepupu kami dari Budhe Pambarep.

"Nggak ah. Aku cari tempat duduk aja buat cari udara segar"

Aku berjalan menyusuri gang dan menemukan sebuah bangku beton yang nyaman untuk duduk. Duduklah aku di bangku itu. Rupanya pemiliknya adalah Ibu-Ibu penjual gado-gado. Sekilas aku melihat seekor kucing hitam legam menggeliat bangun di bangku bambu lalu beranjak pergi. Aku membeli kerupuk putih dan kerupuk bantal berwarna coklat yang menggoda dari balik kaca kaleng warna biru. Sambil menunggu para sepupu berbelanja, aku ngobrol dengan Si Ibu pemilik warung.

Rasanya sih, tubuhku sudah mulai pulih. Ngobrol ngalor ngidul dengan Ibu Penjual Gado-Gado ternyata bisa meredakan rasa tidak nyamanku. Akhirnya acara belanja para sepupu pun selesai. Kami harus kembali ke warung makan Haji Junus untuk mengambil pesanan ikan kuah kuning dan sate maranggi. Daan... , kali ini reaksi tubuhku benar-benar tak bisa dinyana. Entah bagaimana, perutku mual-mual, 'ng', pusing, gak keruan, dan hidungku menolak aroma itu: aroma sate maranggi! Sate kegemaranku! Aku bahkan hoek-hoek seperti perempuan hamil muda di trimester pertama. Begitu mobil berhenti di sebuah Alfamart, aku tanpa menunggu lama langsung membuka pintu dan keluar, dan bilang ke Cahyo,

"Yoooo .... please deh. Jauh-jauhin bungkusan satenya dariku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun