Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Negeri Tempat Terbitnya Matahari, Bawo Mataluo, Pulau Nias

1 November 2019   02:37 Diperbarui: 1 November 2019   07:09 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di desa kuno yang berada di puncak bukit setinggi seribu tangga dengan jalur jalan memanjang dari Timur ke Barat bernama negeri asal terbitnya Matahari, Bawo Mataluo, sekali lagi kepalaku dipenuhi sepenggal kisah tentang Kartini. Sedangkan Honesty dan Justin -yang menemaniku sejak dari anak tangga sisi Barat- sibuk bercerita tentang batu loncat di tengah-tengah desa. Aku berusaha keras memfokuskan diri pada dua pemuda Nias itu saat mereka menjelaskan padaku tentang batu-batu yang dipasang di halaman masing-masing rumah adat. Untunglah hujan kemudian turun sehingga semua obrolan terhenti dan kami berteduh di rumah Honesty. Mula-mula gerimis, lalu deras. Kurasa nanti halimun akan turun bersama enyahnya air langit. Saat berteduh begini, panca indera pendengaranku didera lagi kisah Kartini. Tampak oleh mereka aku seperti melamun memandangi hujan. Namun sesungguhnya aku tengah mendengarkan kisah yang didaraskan oleh tiap butir air hujan di tanah pusaka ini.  

Begini yang berhasil kucatat:

Kartini kecil menangis meronta ketika dipisahkan dari Ibu kandungnya, dan harus tinggal di Griya Dalem, bersama Garwa Padmi Ayahandanya dan saudari-saudari tirinya. Betapa sedih ia ketika harus berpisah dari pelukan Ibunda. Betapa lebih sedih ketika harus memanggil Ibundanya tercinta dengan sapaan, "Yu".

Yu adalah sapaan untuk pembantu rumah tangga. Serendah itu kah derajat Ibunda? Hanya karena Ibu tidak memiliki trah keningratan, maka Ibu harus tinggal di Griya Njaba? Dan aku, putri kandung Ibu, yang secara garis Ayah meneruskan darah ningrat, maka memenuhi syarat untuk tinggal di Griya Ndalem? Perasaan Kartini kecil teraduk-aduk sempurna.

Adalah Kartono, kakak kandungnya yang hanya berselisih usia 2 tahun, yang meredakan tangis Kartini kecil. Sedari tadi ia mengamati adik kecilnya yang setelah adegan drama lari menuju ruang gamelan. Kartono seringkali mendapati adik kecilnya itu menyendiri bersama gamelan. Terkadang ia mendengar tembang-tembang macapat tersenandungkan dari bibir mungil saudari kandungnya yang matanya jernih tanda ketajaman berpikir.

"Rene, Ni. Iki Kangmas duwe dolanan."*

Kartono, yang kelak berjuluk Sang Poligot karena menguasai puluhan bahasa di dunia, menghampiri Kartini. Khawatir mengganggu ketermenungan Sang Adik, Kartono menyisakan jarak sekitar dua depa. Kartini menoleh ke arah Sang Kakak. Kartono bisa menangkap lelehan air mata di pipi Kartini. Kartini mengusap air matanya meski isak tangisnya tak kunjung reda. Ia melangkah perlahan menuju Sang Kakak.

Kartono membimbingnya dan mereka berdua duduk bersimpuh di dekat gong seakan sedang bersembunyi dari para abdi dalem yang seringnya diminta mencari tahu keberadaan putra-putri Bupati Jepara.

"Wayang kulit iki jenenge Dewi Srikandi, Ni. Ksatriya Wanodya tanpa tanding."**

Ujar Kartono sambil memandang ke kornea mata Kartini. Memastikan gadis kecil itu memberinya perhatian dan fokus pikirannya.

"Dia pandai sekali memanah" tambahnya dengan dramatis.

"Seperti Pangeran Harjuna?" Tanya Kartini dengan mata berbinar.

"Ya! Seperti Pangeran Harjuna." Ulang Kartono sambil tersenyum lebar karena bahagia mendapatkan perhatian adiknya.

"Dan kelak kemudian hari, Dewi Srikandi pun akan menjadi pengantin dengan Pangeran Harjuna."

Mata Kartini kian terbeliak.

"Hmmmm...."

"Kenapa, Kangmas?"

"Meskipun, Dewi Srikandi, saat menjadi pengantin dengan Pangeran Harjuna, sudah ada Dewi Sumbadra yang menjadi istri dari Pangeran Harjuna"

Kartini memberengut. Terlihat oleh Kartono, Kartini meremas jarit parang yang dikenakannya.

"Cerita Kangmas tidak bagus!"

Kartono tergelak.

"Lho?! Kenapa, Diajeng?"

"Ni tidak suka cerita begitu. Itu mirip seperti kisah Kanjeng Ibu Ngasirah. Ni tidak suka"

Kartono tertawa semakin geli.

"Gini aja, Kangmas tidak akan cerita tentang pengantin deh. Kangmas akan cerita tentang betapa hebat dan teguh hatinya Dewi Srikandi saja. Setuju ya?"

Kartini mengangguk.

Dan berkisahlah RM Panji Sosrokartono tentang Dewi Srikandi. Segala kehebatannya. Hanya pada kehebatannya. Meskipun sangat ingin ia tuntaskan ceritanya hingga akhirnya Dewi Srikandi lah yang dipilih oleh Dyah Ayu Dewi Amba saat menitis untuk membalaskan dendamnya kepada Rshi Bhisma. Tapi kisah itu akan disimpannya saja. Kelak, bila Kartini sudah siap, Kartono akan dengan senang hati menceritakannya.

Kartono bahagia ketika Sang Adik sudah melupakan kesedihan hatinya. Kesedihan yang sama yang dahulu pernah ia rasakan. Perlahan, Kartono mengusap kepala Kartini.

"Ni, Kangmas akan selalu menemanimu, apapun jalan yang kelak kau pilih"

Kartini mengangguk. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Yang ia tahu adalah bahasa pelukan. Maka dipeluknya Sang Kakak erat. Dalam hati, Kartini berkata.

"Kangmas, sesanggup usia dan jiwaku, aku pun akan menjagamu selalu"

***

"Ga'agu ... ini bajunya"

Sapaan itu menghentikan semua adegan tentang R.M. Sosrokartono dan R.A. Kartini.

Honesty menyerahkan setumpuk pakaian padaku yang masih sedikit terbengong. Warnanya kuning berkombinasi merah. Sehelai kain, sebuah baju, selendang bermotif ragam hias Nias, dan tas kecil warna merah kuning.

"Ga'agu akan dibantu Ina Elsa mengenakan baju adat ini. Pilih mahkotanya yang pas dengan kepala Ga'agu ya. Saya akan menunggu di luar."

Hujan telah reda. Menyisakan pemandangan eksotis rumah-rumah adat dengan nuansa halimun di sisi Timur. Dalam balutan halimun, batu lompat Nias setinggi 2 meter ini masih tampak gagah. Jalan lebar yang memanjang dari Barat ke Timur terlihat kelam. Di kiri kanan jalan selebar 15 m itu berdiri rumah-rumah adat yang jarak antar rumahnya nyaris tidak ada. Batu-batu di jalan lebar itu basah dan terlihat semakin hitam. 

Sebuah rumah paling besar berada di sisi Selatan, menghadap ke Selatan. Ini adalah rumah Sang Raja. Hanya Raja yang boleh memasang ornamen naga untuk rumahnya. Batu lompat berada di sisi sebelah Barat rumah Raja. Saya memilih posisi di dekat Batu Lompat untuk diabadikan gambar oleh Honesty. Suatu saat nanti, bila sempat ke sini lagi atraksi lompat batu akan menjadi pilihan saya menghabiskan liburan, dan bukan untuk kali ini.

Dokpri
Dokpri
Catatan:

* Bahasa Jawa, artinya: "Ke sini, Ni. Abang punya mainan"

** Bahasa Jawa, artinya: "Wayang kulit ini namanya Dewi Srikandi. Ksatria wanita hebat tiada tandingan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun