Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pantai Tureloto Nias Utara: Laut Tenang Berpasir Putih Bersih

28 Oktober 2019   12:10 Diperbarui: 1 November 2019   18:22 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa beruntungnya 'terdampar' di pantai bening sejernih hati yang selalu tertaut pada tali jiwa. Pantai Tureloto, Desa Balefadorotuho, Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara. Posisinya berada di ujung Utara Pulau Nias, di sisi Barat.  

Terumbu karang di Pantai Tureloto memiliki bentuk yang spesifik. Sebagian besar terumbu karang mencuat di atas permukaan air laut. Beberapa rekan mengatakan bentuknya seperti otak manusia. Terbayang kan, bentuk agak membulat, dengan lekuk-lekuk labirin permukaan otak. Begitulah penampakannya. Cuatan-cuatan membulat itu bermunculan di berbagai sisi pantai. 

Bagi saya terlihat seperti Raja Ampat versi mini. Sebagian lagi terumbu karang malu-malu, membiarkan dirinya terbenam di bawah permukaan air. Mereka ini kaum 'underground'. Namun karena air laut demikian jernihnya, maka dari kejauhan pun keberadaan 'para underground' ini terdeteksi oleh panca indera. 

Pantai Tureloto ini adalah pantai yang tenang, hampir tak ada gulungan ombak yang tinggi yang datang bergelombang-gelombang bersama dengan suaranya yang menggemuruh. Tak ada debur ombak. Yang ada adalah kecipak-kecipak lidah ombak yang menjilati bibir pantai dan tubuh-tubuh telanjang batu-batu karang. Gerakam air lautnya mengalun, seperti tari klasik Jawa yang masih terdengar di balik pagar keraton. 

Laut lepas jauh di arah Utara hingga ke Timur tertahan oleh hamparan karang yang diantaranya membentuk semacam dinding pembatas. Semacam The Great Barrier Reef. Namun yang di Nias ini panjangnya sekitar 800 meter. Maka yang sampai di daratan adalah gelombang tenang. Para penikmat pantai yang memang ingin merasakan kontak langsung dengan perairan yang indah dan bening ini seolah terlindungi dari gelombang besar dan bisa mengapung-apung tenang dan damai dalam wilayah jelajah sekitar 500 meter. 

Bagi yang tidak membawa baju ganti (dan itu sayang banget), masih bisa menikmati indahnya pemandangan perairan. Beberapa perahu kayu nelayan berlintasan. Pada jarak satu hingga lima meter dari batas daratan, ikan-ikan kecil terlihat melintas berenang-renang dari satu gugusan karang ke terumbu karang yang lain. Sekedar menjejakkan kaki dan merasakan lembutnya pasir yang sangat putih di pinggiran masih bisa dilakukan. 

***

Memandangi kedalaman pantai Tureloto, dasar pantainya yang berupa pasir putih bersih, entah mengapa aku teringat pada Tiga Ibu dari Kota Jepara. Kanjeng Ibu Ratu Shima; Kanjeng Ibu Ratu Kalinyamat; dan Kanjeng Ibu R.A. Kartini. Tentu saja tak kulupa Kanjeng Ibu, ibu kandungku sendiri, yang selalu di hati. 

Seputih pasir dasar pantai Torelotu ini, seputih itu kebaya Ibu R.A. Kartini. Saat kupejamkan mataku, kudengar suara.

"Kangmas, terima kasih, telah kau tunjukkan padaku jendela dunia hingga kupahami bahwa batas cakrawala itu hanya ciptaan manusia belaka," kata Si Trinil kepada kakandanya yang kelak kemudian hari berjuluk Mandor Klungsu. Kakak kandungnya ini baru saja memberikan buku-buku bacaan sebagai teman untuk Kartini selama masa pingitan.

R.M. Sosrokartono memandang lekat adik kandungnya. Mengelus kepalanya dan rambutnya yang bergelung. "Kelak, kau akan mewarnai dunia, Ni. Kangmas hanya menjadi perantara." Senyum Sosrokartono mengembang. Indah, damai, teguh, menembus relung hati Kartini. Kartini menyandarkan kepalanya di bahu Sang Kakak. Dalam pejamnya, ia menyimpan seluruh energi yang diberikan kakandanya baik-baik. Energi dari senyum itu, usapan tangan di kepala, dan kata-kata non verbal yang terucap dari ikatan batin mereka yang kuat.

1892, kala itu Kartini berusia sekitar 13 tahun, dan memasuki masa pingitan. Kangmasnya, beberapa tahun lebih tua. Mereka mutiara-mutiara bangsa ini. Pemuda-pemuda yang jauh sebelum 1928 sudah memberi arti. Hidup Kartini singkat. Hanya 25 tahun saja. Namun segala hikmah, kebijaksanaan, dan kebeningan berpikirnya memberi teladan bahwa pemuda bangsa dengan fadhilahnya masing-masing berpeluang memberi karya terbaiknya untuk bangsa ini, di lingkungan terkecil, sekelilingnya. 

***

"Ya'ahowu!"

Sapa seseorang di belakangku. Rupanya dia Ina Helena. 

"Ya'ahowu!" Balasku.

"Sop ikan putih dan ikan bakar Kerapu Nanasnya sudah siap, Ga'agu ..."

"Sou Hagölö, Ina Helena," ujarku berterima kasih padanya. 

Pemilik warung makan di tepi pantai Turelotu menyusulku yang sedang asik duduk di atas sebongkah karang yang ditumbuhi rumputan. Berjingkat, saya bangkit. Menjajari langkah Ina Helena dan Si Kecil Helena menuju ke warungnya. 

Sop ikan! Ah. Selalu itu yang kucari bila sedang berada di kota-kota pantai. Ikan Putih sebutan Nias untuk ikan yang terhidang di hadapanku dalam mangkuk dengan kuah bening yang harum. Sebentuk kecil bumbu muncul berbentuk seperti bawang putih dengan ukuran lebih besar. Kata Ina Helena, bumbu itu bernama  Silimo, memberi rasa sedikit asam untuk masakan, sebagai penyegar. Ketika kutanya apa bahasa Indonesianya, ia menggeleng sambil tersenyum. Ikan yang sungguh masih segar. Tekstur dagingnya masih utuh tersisa hanya duri-duri tepi badan ikan saja sedangkan kuah beningnya habis tandas olehku. Nasib Kerapu Nanas tak jauh beda. 

Warung ikan milik suami istri Ama dan Ina Helena memiliki penataan yang unik. Sebuah meja panjang dengan tatakan sajian dari kayu berbentuk perahu. Dan sesungguhnya itu beneran sebuah perahu yang sedang difungsikan sebagai meja makan. Nama warungnya "Warung Perahu Ama/Ina Helena". Terletak di tepi pantai Turelotu. Menurut cerita, dahulu, sebelum tsunami 2005, tepi pantai turelotu adalah di batas jalan aspal terdekat. Namun rupanya terjadi kenaikan daratan permukaan tanah sehingga batas pantai menjadi maju sekitar setengah kilometer ke arah laut. 

Lalu saya berjanji pada diriku sendiri. Nanti setelah makan hidangan laut ikan-ikan segar, saya akan berperahu mengelilingi pantai Tureloto hingga batas yang bisa kujangkau. Alat snorkling, baju ganti, dan waktu yang cukup sudah kusiapkan dengan baik untuk menikmati pantai Tureloto. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun