Terdengar gumammu lagi. Kali ini dengan suara yang lebih keras karena jarak antara kamu dan aku semakin lebar.
"Ngajapa tyas rahayu,Â
ngayomana sasameng tumuwuh,Â
wahanane ngendhak angkara kalindhih,Â
ngendhangken pakarti dudu,Â
dinuwa tibeng doh."
Kau berkata lagi setengah berteriak. Memastikan agar aku mendengarnya dengan jelas,Â
"Serat Sabdatama, R. Ng. Ranggawarsito."
Kubayangkan, kau mengangkat kedua telapak membentuk corong di sekitar bibirmu. Tangan kanan di sudut bibir kanan. Tangan kiri di sudut bibir kiri.
Terima kasih sudah mengingatkanku. Ucapku dalam hati. Aku sama sekali tidak menoleh.
Di hadapanku saung bambu itu.
Tempatku menepi.