Begitulah. Seorang sahabat yang "menyematkan" kosa kata unpredictable itu ke telinga, bahkan ke otak terdalamku. Dia telah mengenal Melbourne sekian bulan lebih awal dariku. Lintasan pagi dan malam yang silih berganti yang ditempuhnya saat menimba ilmu di Melbourne University menjadikannya lebih bijak menjadi seorang sahabat.
Dari bangku panjang di depan bangunan tua yang berdiri sejak tahun 1800-an ini aku beranjak. Aku akan bergegas pulang ke rumah Father Eddie di arah Sydney Road. Terang yang kurasakan, belum tentu akan benderang hingga senja nanti.
Bisa jadi angin dingin menusuk tulang menerpa yang ngilunya melebihi letupan api cemburu. Bisa jadi hujan menderas dengan butir-butir air yang sedingin air es. Menggigilkan. Atau tetap begini. Hangat. Lembut. Selembut usapan tangan kekasih hati yang penuh kasih sayang di kepala.
Sepotong fragmen di Melbourne, 2004.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H