Â
Di halaman belakang rumah ada sepetak tanah. Tadinya isinya macem-macem. Puing-puing bangunan, sisa-sia selang, potongan bata merah, tanaman rambat yang tumbuh menjalarnya demikian liar. Tapi itu sebulan yang lalu. Demi mendapatkan pemandangan yang lebih enak, Sepetak itu saya urug tanah merah. Nantinya, cita-citanya, sih, mau buat ditanemin entah tomat entah cabe.Â
Belum sempat saya mewujudkan cita-cita, ternyata kucing-kucing penghuni kompleks yang berkeliaran lebih kreatif menandai hamparan tanah merah itu dengan urin dan feses mereka sebagai penanda wilayah teritorial mereka.Â
Ugh!Â
Jangan tanya baunya.Â
Padahal dari sisi visual, hamparan tanah merah di Sepetak itu jauh lebih indahnya kemana-mana daripada pemandangan sebelumnya. Alih-alih mendapatkan pemandangan tanaman cabe dan tomat dengan buah yang 'pating grandul' merah ijo orange merona indah, tiap saya ke Sepetak di belakang, malah dapat aroma yang tak sedap.
Salah satu sahabat baik memberi tips untuk menghindari kedatangan para kucing alias Miaw itu dengan cara memanfaatkan lidi. Jadi, di lokasi di mana Si Miaw membuang hajatnya, di situ ditancapkan lidi, dengan sisa cuatan lidi di atas tanah sepanjang kira-kira 20-25 cm.Â
Konon, dengan cara itu, Si Miaw tak akan kembali lagi ke lokasi itu untuk buang hajat besarnya. Jadilah saya, sejak itu seperti mandor kebun yang setiap hari melakukan inspeksi pada setiap jengkal tanah pada Sepetak di Belakang. Di mana ada lalat berkerubung, di situ ada peninggalan Miaw yang sukses menandai wilayah teritorial.Â
Selama proses inspeksi itu, tentu saja aroma yang tercium semakin kuat karena mau nggak mau, saya, Si Mandor Kebun Sepetak ini, semakin masuk ke radius mendekati titik pusat sumber aroma. Huekkkkksss!
Akhirnya, setelah beberapa hari, saya menyatakan diri pensiun dini dari jabatan Mandor Kebun Sepetak Belakang.Â
Biarin deh. Puas-puasin lu, kucing-kucing!Â
Asal jangan ketemu saya aja deh. Karena sejak pensiun dini, saya selalu bawa gayung berisi air. Siap mengguyur kucing-kucing yang datang ke Sepetak Belakang untuk buang hajat. Dan mengguyurkan kepada makhluk berbulu itu. Byur!
Namanya manusia, pasti selalu cari akal supaya pekerjaannya lebih termudahkan. Begitupun Pensiunan Mandor Kebun Sepetak Belakang ini. Capek juga bawa-bawa gayung dan lari-lari mengejar Miaw. Ilham itu datang juga, setelah saya jalan-jalan pagi keliling perumahan.Â
Ku lihat para tetangga membuat barikade botol plastik berisi air di sekeliling Sepetak mereka. Beberapa rumah melakukannya. Setelah kutanya apa maksudnya, ternyata itu adalah cara menghindarkan Sepetak mereka dari para Miaw untuk beraksi buang urin dan feses.
Akhirnya sukseslah Sepetak Belakang saya barikade dengan botol plastik berisi air. Tapi ya saya masih suka patroli dengan gayung berisi air di tangan. Sekali-kali.
Efektivitas pemasangan barikade itu nggak pernah saya hitung sih. Apakah bener-bener para Miaw kapok buang hajat di Sepetak Belakang, atau tidak, saya nggak pernah merhatiin. Yang jelas, aroma tak sedap masih saja tercium. Kalau mau tau efektivitasnya, ya pasang CCTV kali ya, trus dimonitor beberapa hari. Bandingin antara sebelum dipasang barikade botol plastik isi air dengan sesudahnya.
Perhatian saya beberapa hari belakangan ini justru beralih pada sebuah pokok tanaman yang rimbun sekali daun hijaunya. Semakin lama semakin tinggi dan rimbun. Penasaran dengan indah dan suburnya tanaman itu, saya menanyakan ke group diskusi tentang tanaman & pepohonan.Â
Awalnya saya berpikir bahwa itu adalah pohon kelor karena strukturnya mirip. Ada tulang daun, lalu ada daun-daun kecil yang mencuat dari tulang itu. Kalau itu tanaman kelor, wuih, asyik banget. Kabarnya kan daun kelor bisa mengusir aroma-aroma jahat yang tak tampak. Eh, bener kan?Â
Artikel di Tribun pernah memuat informasi yang kira-kira isinya daun kelor atau pohon kelor tuh memilki aura atau kekuatan yang bisa menangkal kekuatan ilmu hitam, seperti guna-guna, santet, teluh atau sejenisnya.Â
Beberapa orang percaya jika mereka menanam Kelor di depan rumah atau di pekarangan rumah bisa dimanfaatkan untuk mengusir hawa-hawa jahat.Â
Di artikel lain saya pernah baca, daun Kelor sudah menjadi komoditi ekspor negeri kita. Pasuruan, adalah penghasil dan pengekspor daun kelor ke Korea Selatan dengan jumlah yang cukup besar, 55.894 kilogram atau 55,8 ton, dan nilai total ekspornya mencapai USD 155.247,90 (artikel di Detiknews Senin (25/3) lalu).Â
Hal ini tak mengherankan karena Kelor (Moringa oleifera, nama latinnya. Di dunia Barat disebut sebagai Miracle Tree) punya banyak sekali manfaat untuk kesehatan.Â
Salah satu artikel menyebutkan dalam satu gramnya, daun kelor mengandung 7 x vitamin C pada jeruk; 4 x calcium pada susu; 4 x vitamin A pada wortel; 2 x protein pada susu; 3 x potasium pada pisang. Jadi saya bisa sangat berhemat dengan mengurangi belanja bulanan berupa jeruk, susu, wortel, dan pisang untuk mendapatkan parameter gizi yang disebutin tadi. Wuihh..! Tabungannya bisa buat beli kain tenun impian!
Ternyata, Grup diskusi tentang tanaman & pepohonan mengkonfirmasi bahwa tanaman yang saya tanyakan itu bukan pohon Kelor, melainkan  tanaman Katuk atau Cekur Manis (Sauropus androgynus). Dari group diskusi itu, saya baru tau ternyata selain dibuat sayur bening, katuk pun enak untuk campuran nasi goreng.
Walhasil, pagi ini, pohon Katuk berhasil dirapikan. Potong sana, potong sini. Hasil pangkasan daun Katuk lalu dipetik daun-daun tunggalnya yang bentuknya bundar lonjong, dipisahkan dari tulang daun. Dicuci, ditiriskan. Tiga siung bawang putih, 13 buah cabe rawit hijau, dan seiris terasi dihaluskan menggunakan cobek dan ulekan batu. Penggorengan disiapkan, dituang minyak ke dalamnya, lalu irisan bawang bombay dimasukkan. Isi cobek dituangkan ke penggorengan. Ditambahkan garam. Daun-daun Katuk dimasukkan. Setelah cukup layu, nasi putih dimasukkan. Terakhir, telur ayam.
Pensiunan Mandor Kebun Sepetak bisa dengan tenang menikmati nasi goreng daun Katuk yang ternyata nikmatnya tiada tara. Terlupa ia akan perangnya dengan para Miaw plus aroma tak sedap fesesnya. Untuk sementara.
Kramat Pela, 2 Maret 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H