Ke Pidie aku melangkah
Terjumpa alam indah
: sawah hijau
: langit cerah
: awan tipis
Batas cakrawala menyungging senyum Bukit Barisan
Kudengar Gunung Seulawah berbisik lirih
nyanyian sendu sepanjang kelak-keloknya
Saat itu pukul 06.30 pagi dan sinar mentari belum nyata
Tembok pagar tinggi
Runtuh luluh lantak
Jejak gempa pilih-pilih
Seorang ibu merintih di pinggir tenda pengungsian
Hampir terabaikan
Gempa susulan kurasakan
Halus,
namun getarnya: dalam
: Di sawah
 petani mulai bertanam padi
: Di pasar
 hasil laut sudah dijajakan
Meskipun menara BTS miring
Pidie menggeliat bangkit
Kakao Pidie selezat coklat panas di Schippol
Ke Pidie aku melangkah
Kanak-kanak di pengungsian berebut buku tulis
Ballpoint dan kembang gula
Kugoda mereka
: Ayooo siapa yang bisa baca ummul kitab?
Tangan-tangan mungil ramai angkat jari telunjuk
Bibir-bibir mereka melafalkan Alfatihah
Aih, indahnya
Ke Pidie aku melangkah
Menyusuri jejak jalan yang terbelah merekah
Bangunan miring, rumah rata dengan tanah
Menggayut terus di pelupuk mata
Saat pulang ke Jakarta
Senja turun
Jingga menyeruak
Kutangkap purnama di jendela
Bundar besar
Kuning keemasan
Indah
Di Pidie kudengar bumi berbisik: esok semuanya lebih baik
Pidie, 13 Desember 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H