“Iya, gitu aja, sok atuh, semoga beruntung”, ujar saya menyemangati.
Anak muda yang tak saya tahu namanya itu secepat kilat melesat. Dari tempat saya berdiri, kulihat dia sudah ada di dalam kedai, melintasi dua orang yang mengantri, ke arah lebih dalam di dekat dimana biasanya berbagai kaos Filosofi Kopi dipajang. Dia berbincang dengan seseorang. Lawan bicaranya tak terjangkau pandang mata saya. Lalu kulihat dia berjalan kembali ke arah saya. Berdiri lagi di sebelah saya, bercerita,
“Nggak boleh, mbak…”, katanya kecewa. Saya memandangnya kalem. Tapi pandangannya lurus ke depan, ke arah kedai.
“Ada siapa aja di dalam?”, tanya saya mengajaknya ngobrol berempati pada kekecewaannya. Dalam hati, saya menjawab sendiri, bisa jadi ada Rio Dewanto, Chicco Jerikho, Luna Maya, mungkin juga Dewi Dee Lestari.
“Ada Luna Maya”,
jawabnya sambil melipat tangannya di dada, dan pandangannya tetap lurus ke depan. Rupanya dia belum rela. Dalam khayalan saya, anak muda ini nanti akan mencoba lagi berfoto dengan Sang Artis. Tentu saja dengan menempuh cara yang berbeda.
***
Saya juga memandang lagi ke depan. Lalu kulihat Dara sedang ‘bertugas’. Saya kenal Dara -Tim Filkop Melawai yang biasanya bertugas di kasir- karena saya keseringan jajan affogato di kedai ini. Dari jauh, saya memberikan lambaian tangan di atas kepala kepada Dara. Syukurlah dia menangkap gesture saya. Segera saya lontarkan tanya,
“Buka…? Atau tutup…?”
Tanpa suara, hanya gerak bibir saja.
Dari posisinya, sambil tetap memandang ke arah saya dengan sorot mata tersenyum, Dara menyilangkan kedua telunjuknya, telunjuk tangan kanan dan telunjuk tangan kiri. Bibirnya membentuk sebuah kata,