Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Sabtu Sore di Lapangan Blok S

17 Januari 2016   10:19 Diperbarui: 1 April 2019   15:54 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu menu jajanan di Pujasera Blok S Jakarta (dokpri)

Sedari pagi, entah mengapa, frekuensi bangkis saya sudah tak terhitung banyaknya. Sepadan dengan bilangan satu dibagi nol. Setara dengan lambang yang sangat kusukai: ~. Infinity. Dan, entah mengapa pula, tingkat kebandelan saya sedang berada di skor setinggi-tingginya. Saya sedang abaikan semua obat yang mengandung antihistamin berikut obat flu. Bahkan resep dokter untuk sebuah obat semprot hidung yang diharapkan bisa meredakan reaksi atas alergi dingin dan debu hanya saya lirik saja.

“Aku hanya perlu istirahat dan tidur yang cukup”, begitu gumam hati saya. Hal yang sangat sejalan dengan lambang-lambang yang mencuat diatas kepala saya. Bantal dan guling warna merah, dengan tempat tidur berpagar besi di sekeliling tiga sisi warna putih. What a peaceful imagination. Dan tanpa susah payah, imajinasi itu saya wujudkan dalam kenyataan. 

Saat sore menjelang, setelah beberapa lama bangun tidur, hal pertama yang saya lakukan adalah: bangkis-bangkis lagi. Oh my God. Lalu saya ingat nasehat sahabat saya manakala saya bangkis-bangkis nggak keruan, begini:

“Minum teh manis panas, selimutan, dan bikin berkeringat”.

Karena selimutan sudah teraplikasi denga baik, maka tinggal dua hal yang belum saya lakukan: Minum teh manis panas dan bikin berkeringat.

Ting…! Tiba-tiba ada karya Thomas Alfa Edison di kepala saya. Berpijar terang. Dan saya menujunya sore itu juga. 

***

Setelah melintasi jalan Trunojoyo yang jadi semakin sempit karena proyek pekerjaan pembuatan MRT, dan pengalihan jalan, melintasi daerah Erlangga karena menghindari kemacetan, menyusuri sebentar Jalan Suryo, maka saya pun sampai di Jalan Birah Raya, dan memarkir mobil mungil di sisi lapangan blok S. Di seberang lokasi parkir, terdapat barbershop yang terlihat cozy, tepat di lokasi tikungan.

Saya berjalan perlahan menuju lokasi Bakso Kumis yang lokasinya masih kukira-kira karena sudah lama sekali saat dulu kesana bersama teman-teman kantor. Beberapa meter setelah berbelok ke kanan, saya disambut dengan juntaian akar-akar gantung pohon beringin. Seorang ibu dan putranya yang masih kecil terlihat menuju mobil putih yang terparkir di bawah naungan pohon beringin itu. Si Ibu dengan paras tersenyum memamerkan tangannya yang meraih ujung terbawah salah satu rangkaian akar gantung. Lalu putra kecilnya tertawa riang dan mengangkat tangannya ingin turut meraih akar gantung itu.

Serta merta, Ibu Muda bercelana jins itu mengangkat putra kecilnya untuk membantu meraih akar gantung pohon beringin. Pemandangan yang sangat menyentuh dan membuat saya tersenyum. Cinta kasih seorang Ibu terpancar di adegan itu. Cinta kasih tanaman besar berkambium kepada manusia juga terbaca dengan sangat bold. Mata rantai cinta. 

Di sisi kiri saya, ada bangunan cukup besar dan bertingkat. Dari papan namanya saya tahu bahwa itu adalah sebuah bangunan sekolah dasar yang rupanya ditempati oleh banyak sekolah. SD 05 Pagi, SD 06 petang, SD 07 Pagi, SD 08 Petang. Sebagai warna negara yang dibesarkan di kota kecil yang asri di Jawa tengah sana, pemandangan itu membuat saya tersenyum dan mengagumi perjuangan warga Jakarta. Betapa Jakarta dengan populasinya yang sangat besar dan tingkat kepadatan penduduk dan bangunan yang tinggi, sangat mempengaruhi sistem belajar anak usia sekolah dasar. Sedari kecil, anak-anak Jakarta sudah terbiasa dengan 'shift', seperti sistem kerja di perusahaan manufaktur. 

Mobil-mobil banyak terparkir di sisi kiri jalan. Sepeda motor pun demikian, terjajar rapi melengkung di salah satu tikungan. Sementara di sisi kanan jalan, berderet memanjang beragam tukang jajanan dan makanan yang menjajakan aneka ragam makanan di masing-masing kedai mereka. Dari mulai steak, nasi goreng, sate padang, es campur, es podeng, kacang rebus, aneka minuman, soto betawi, sop iga, siomay dan entah berapa macam lagi makanan yang tidak bisa terekam sempurna di otak saya yang mulai menerima informasi tentang rasa lapar.

Bangku-bangku besi sederhana berderet di depan kios-kios, kedai dan gerobak dorong para penjual. Mata saya terus mengamati deretan yang lebih dari dua puluh buah itu. Satu yang saya cari, yaitu: Bakso Kumis.

Ilustrasi Bakso Kumis Blok S dari Googemap
Ilustrasi Bakso Kumis Blok S dari Googemap
Setengah perjalanan melewati deretan kios namun belum juga saya temukan plang dengan tulisan itu. Hingga hampir di ujung  perjalanan deretan kios, baru terbaca oleh saya nama yang saya cari. Beberapa orang saya lihat turun dari satu mobil, dan ternyata menuju tempat yang sama. Sebuah antrian tiba-tiba saja terbentuk tanpa diminta.

Sebuah sequence otomatis terbentuk: ambil mangkok sendiri, ambil sendok (tidak ada garpu), ambil seledri secukupnya bagi yang suka, ambil sambel rawit hijau yang tersedia dalam baskom plastik, ambil cuka, kecap manis dan saos bila suka. Setelahnya, terlihat dua buah kuali besar berisi bakso hampir sebesar bola tenis beserta kuahnya. Yang kiri adalah bakso polos, sedangkan yang kanan adalah bakso urat. Satu porsi bakso, berisi dua buah bakso besar ini. Tanpa mie. Lalu pengunjung pun bebas memilih tempat duduk di deretan bangku besi sepanjang Pujasera.

Selain serombongan keluarga besar tadi yang segera memenuhi bagnku-bangku di Pujasera ini, sudah ada dua orang pengunjung yang asyik menikmati bakso besar di salah satu bangku. Seorang wanita muda berjilbab abu-abu berbadan agak besar, dan di hadapannya seorang wanita muda bergaya santai dengan rambut sebahu.

Saya terpaksa mencari tempat duduk agak lebih ke ujung karena sebagian besar bangku sudah ditempati. Saat saya duduk, terlihat sepasang muda-mudi turun dari mobil mungil duo-seat warna hitam. Keduanya berwajah oriental, kutaksir, kira-kira usia mereka penghujung belasan atau awal dua puluhan. Si gadis mengenakan atasan blouse putih dan Sang Pria Muda bergaya santai dengan kaos warna gelap. Keduanya masuk dan langsung menuju kedai Bakso Kumis. Saat kembali, mereka menempati bangku di seberang saya. Mereka memegang masing-masing semangkok bakso dengan sebuah sendok.

Saya memperhatikan mangkok yang dipegang kedua muda-mudi itu. Mangkoknya diberi tanda khusus semacam cat atau pewarna dengan warna hijau. Lalu saya memperhatikan mangkok bakso saya sendiri. Wah, ternyata sama, ada penanda warna hijau. Barangkali itu untuk membedakan dari mangkok-mangkok lain yang beredar di deretan panjang meja Pujasera ini.  Maklum, disini tidak ada batasan harus duduk di depan kios dimana kita membeli, sehingga kita bebas bisa duduk dimana saja.

Well. Satu syarat untuk berkeringat sudah saya dapatkan. Semangkok Bakso Kumis untuk mengusir bangkis-bangkis. Segelas teh manis panas kupesan di kedai terdekat dari tempat saya duduk. Seporsi bakso habis tandas, dan segelas besar teh manis saya seruput pelan-pelan. 

Saat berjalan pulang, melintasi seluruh kedai dengan jalan kaki kecepatan sangat lambat, pandangan mata saya terpikat dengan sebuah tulisan. Es podeng. Ingatan saya melayang ke masa kecil dulu saat ada perhelatan nikah di tetangga sekitar dan family. Terbayang es podeng versi mantenan. Beberapa kedai terlihat memiliki menu itu diantara jenis jajanan es yang lain. Saat mendekati tikungan, sekitar 50 meter dari posisi parkir kendaraan, di trotoar terdapat bangku-bangku dan meja. Dua orang terlihat sedang menikmati hidangan yang mereka pesan. Lalu secara reflek saya menuju Abang Tukang Es, dan memesan segelas Es Podeng. Ternyata imajinasi saya buyar dan gagal total.

Sama sekali berbeda dengan es podeng dalam khayalan masa kecil saya. Di hadapan saya, terdapat sebuah wujud lain dari es podeng ala Jakarta, yang isinya  disusun berlapis-lapis dari bawah ke atas: potongan roti tawar, semacam cencol warna pink, ketan hitam, es krim kampung yang terasa banget rasa kelapanya, diakhiri dengan topping beberapa irisan alpukat, butir-butir kacang tanah kupas goreng, dan sejumput kecil butiran meisis coklat. Komposisi itu hadir diatas mangkok gelas kecil. Rasanya? Meskipun tidak memenuhi harapan nostalgik saya, namun harus saya akui bahwa rasanya : Yummy …!

Jadilah sore itu saya menutup upacara pengusiran bangkis-bangkis dengan sebuah ending yang sangat 'antagonis'. Sebuah rasa menyeruak di dada: gagal total dan guilty pleasure.  Olala…!

 

***

Bunyi lonceng berdentang-dentang. Sumber suaranya tak jauh dari lapangan Blok S ini. Kurasa itu dari genta di Gereja di seputaran Blok S. Dan pukul enam sore adalah waktuku kembali pulang. Dalam hati, saya berdoa sungguh-sungguh. Semoga dessert es krim tradisional tadi justru menyembuhkanku dari serangan bangkis-bangkis.

Jakarta, 17 Januari 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun