Mobil-mobil banyak terparkir di sisi kiri jalan. Sepeda motor pun demikian, terjajar rapi melengkung di salah satu tikungan. Sementara di sisi kanan jalan, berderet memanjang beragam tukang jajanan dan makanan yang menjajakan aneka ragam makanan di masing-masing kedai mereka. Dari mulai steak, nasi goreng, sate padang, es campur, es podeng, kacang rebus, aneka minuman, soto betawi, sop iga, siomay dan entah berapa macam lagi makanan yang tidak bisa terekam sempurna di otak saya yang mulai menerima informasi tentang rasa lapar.
Bangku-bangku besi sederhana berderet di depan kios-kios, kedai dan gerobak dorong para penjual. Mata saya terus mengamati deretan yang lebih dari dua puluh buah itu. Satu yang saya cari, yaitu: Bakso Kumis.
Sebuah sequence otomatis terbentuk: ambil mangkok sendiri, ambil sendok (tidak ada garpu), ambil seledri secukupnya bagi yang suka, ambil sambel rawit hijau yang tersedia dalam baskom plastik, ambil cuka, kecap manis dan saos bila suka. Setelahnya, terlihat dua buah kuali besar berisi bakso hampir sebesar bola tenis beserta kuahnya. Yang kiri adalah bakso polos, sedangkan yang kanan adalah bakso urat. Satu porsi bakso, berisi dua buah bakso besar ini. Tanpa mie. Lalu pengunjung pun bebas memilih tempat duduk di deretan bangku besi sepanjang Pujasera.
Selain serombongan keluarga besar tadi yang segera memenuhi bagnku-bangku di Pujasera ini, sudah ada dua orang pengunjung yang asyik menikmati bakso besar di salah satu bangku. Seorang wanita muda berjilbab abu-abu berbadan agak besar, dan di hadapannya seorang wanita muda bergaya santai dengan rambut sebahu.
Saya terpaksa mencari tempat duduk agak lebih ke ujung karena sebagian besar bangku sudah ditempati. Saat saya duduk, terlihat sepasang muda-mudi turun dari mobil mungil duo-seat warna hitam. Keduanya berwajah oriental, kutaksir, kira-kira usia mereka penghujung belasan atau awal dua puluhan. Si gadis mengenakan atasan blouse putih dan Sang Pria Muda bergaya santai dengan kaos warna gelap. Keduanya masuk dan langsung menuju kedai Bakso Kumis. Saat kembali, mereka menempati bangku di seberang saya. Mereka memegang masing-masing semangkok bakso dengan sebuah sendok.
Saya memperhatikan mangkok yang dipegang kedua muda-mudi itu. Mangkoknya diberi tanda khusus semacam cat atau pewarna dengan warna hijau. Lalu saya memperhatikan mangkok bakso saya sendiri. Wah, ternyata sama, ada penanda warna hijau. Barangkali itu untuk membedakan dari mangkok-mangkok lain yang beredar di deretan panjang meja Pujasera ini. Â Maklum, disini tidak ada batasan harus duduk di depan kios dimana kita membeli, sehingga kita bebas bisa duduk dimana saja.
Well. Satu syarat untuk berkeringat sudah saya dapatkan. Semangkok Bakso Kumis untuk mengusir bangkis-bangkis. Segelas teh manis panas kupesan di kedai terdekat dari tempat saya duduk. Seporsi bakso habis tandas, dan segelas besar teh manis saya seruput pelan-pelan.Â
Saat berjalan pulang, melintasi seluruh kedai dengan jalan kaki kecepatan sangat lambat, pandangan mata saya terpikat dengan sebuah tulisan. Es podeng. Ingatan saya melayang ke masa kecil dulu saat ada perhelatan nikah di tetangga sekitar dan family. Terbayang es podeng versi mantenan. Beberapa kedai terlihat memiliki menu itu diantara jenis jajanan es yang lain. Saat mendekati tikungan, sekitar 50 meter dari posisi parkir kendaraan, di trotoar terdapat bangku-bangku dan meja. Dua orang terlihat sedang menikmati hidangan yang mereka pesan. Lalu secara reflek saya menuju Abang Tukang Es, dan memesan segelas Es Podeng. Ternyata imajinasi saya buyar dan gagal total.
Sama sekali berbeda dengan es podeng dalam khayalan masa kecil saya. Di hadapan saya, terdapat sebuah wujud lain dari es podeng ala Jakarta, yang isinya  disusun berlapis-lapis dari bawah ke atas: potongan roti tawar, semacam cencol warna pink, ketan hitam, es krim kampung yang terasa banget rasa kelapanya, diakhiri dengan topping beberapa irisan alpukat, butir-butir kacang tanah kupas goreng, dan sejumput kecil butiran meisis coklat. Komposisi itu hadir diatas mangkok gelas kecil. Rasanya? Meskipun tidak memenuhi harapan nostalgik saya, namun harus saya akui bahwa rasanya : Yummy …!
Jadilah sore itu saya menutup upacara pengusiran bangkis-bangkis dengan sebuah ending yang sangat 'antagonis'. Sebuah rasa menyeruak di dada: gagal total dan guilty pleasure.  Olala…!