Dalam kehidupan "dewasa" ternyata saya sering mengalami apa yang dialami Nobita lho. Ini tentang bagaimana giatnya Nobita belajar dengan mati-matian sampai pagi (hal yang sangat jarang dilakukannya), namun saat ujian, ternyata nilai yang diterimanya "nol". Ya gimana nilainya nggak nol lha wong ternyata ujiannya adalah ujian bahasa (Hahaha, film Doraemon layar lebar tempo hari masih terngiang jelas).
Dalam dunia kerja, kayanya kita udah siap banget dengan project A. Semua disiapin dengan rapih, all out, strategic matters hingga 'sak detil-detilnya'c eehh ternyata "ujian" hari itu bukan project A, melainkan project B, yang tak satupun apresiasi didapat. Semua dapat komen negatif. O'ow...! Jika Nobita bercucuran air mata dan berjalan gontai hingga seluruh isi tasnya terburai ditambah rasa down-nya atas semua kehebatan Dekisugi dalam hal gadis impiannya, maka makhluk dewasa mustinya sih tersenyum-senyum saja seperti penonton film.
Just keep swimming!
Terus berenang! Seperti Nemo, dan Dory, dan Martin. Meskipun bersirip cacat, Nemo tek gentar melawan nelayan yang menjaring ikan-ikan. Meskipun punya penyakit daya ingat rendah banget, Dory terus memberi semangat pada ikan-ikan yang terlanjur terperangkap dalam jaring nelayan.
dan Hakuna Matata!
No problemo! Don't worry be happy..!
Lion King. Ketika Simba menjadi yatim, kehilangan ayah dan disingkirkan oleh pamannya yang jahat, Scar, oleh sahabat-sahabat setianya Timon dan Pumba selalu dipompa semangatnya dengan nyanyian berjudul bahasa Swahili.
Masih sederet lagi film kartun yang bikin saya senyum-senyum karena 'pas banget', 'nyindir banget' dan 'ngena banget'.
Spongebob, misalnya. Dengan suara cemprengnya yang menyanyikan lagu ini: "I'm ready promotion
... I'm ready promotion".. hahaha. Nyebelin ngepasnya. Nyindir saya banget karena pernah 'ngarep' dapat promosi dan oleh Pucuk Pimpinan Terpucuk saya sudah diberi selamat dan pertanyaan peyakinan, "Siwi, kamu siap kan jika harus pindah kantor ke Jakarta?". Ternyata yang naik panggung adalah orang lain yang hmmmm.... 'dipilih' atas dasar petunjuk 'kekuasaan lain' meskipun secara 'kompetensi', saya pun memiliki kualitas yang tidak kalah dari kandidat tersebut. Dan itu terjadi dua kali. Eh, tapi itu dari kacamata saya yang kadang ngelantur alias nggak objektif ding. Uniknya, -kadang saya merasa bahwa Sing Gawe Urip* itu punya sense of humor sangat tinggi-, ketika tiba saatnya saya promosi, justru saya 'terlempar jauh' dari wilayah 'kompetensi keilmuan dan latar belakang pendidikan' saya. Saya harus belajar hal-hal baru tentang menulis siaran pers, menulis draft sambutan, menulis untuk portal dan website kantor, menulis untuk buletin, menyiapkan konferensi pers, menghadapi wartawan, dan lain-lain hal serombongannya yang mengeksplore kreativitas, setelah sebelumnya saya dituntut bekerja di wilayah quality control. Hidup, kadang tak bisa ditebak, karena justru di arena yang sekarang, saya temukan passion saya.
Lalu, Frozen, dengan "Let it go". Bagi saya, film ini ngajarin saya, tentang seaneh apapun bakat yang kita punyai, jangan biarkan diri kita menjadi penyendiri dan nggak punya teman sama sekali. Buat orang lain, 'pelajaran'-nya pasti beda. Tapi buat saya, angle itu so true.Â
Satu lagi, film tentang makhluk-makhluk kecil yang tinggal di hutan yang hanya bisa ditangkap komunikasinya dengan alat penyetel frekuensi khusus ciptaan seorang ilmuwan aneh yang tinggal menyendiri di dekat hutan. Lupa judul filmnya. Hmm.. ya! Epic! Ini film nyentil banget tentang frekuensi. Jika kita ngomong dengan frekuensi yang berbeda, bahasa kita nggak akan bisa dimengerti meskipun seluruh energi sudah terbuang banyak sekali. Di film ini, frekuensi berarti frekuensi yang sebenarnya yang bersatuan hertz itu. So, diperlukan perangkat khusus untuk nyetel frekuensi, bila manusia akan ngobrol dengan makhluk-makhluk mungil sejenis peri yang tinggal di hutan. Jika tidak, suara makhluk mungil itu akan terdengar bernada tinggi, speednya cepat sekali, atau dengingan yang tak bisa dimengerti. Di kehidupan nyata, 'frekuensi' harus disamakan supaya omongan, rapat, diskusi, obrolan dengan macem-macem kalangan lawan bicara jadi 'nyambung'.
Kisah Tangled, tentang Rapunzel yang tinggal dan terkungkung di menara istana yang akhirnya bisa melihat 'dunia luar'. Pikiran usil saya gini, untuuuuung Eugene yang datang. Eugene ganteng dan baik hati dan mau bantu Rapunzel saat pesta lampion ketemu orang tua kandungnya yang adalah raja dan ratu negeri itu. Hmmm... Too good to be true. Tapi ya nggak papa sih, mana tau itu sebenarnya adalah kisah saya di kehidupan nyata. Hahaha.Â
Jadi, seserius itu ya nonton film-film kartun? Waaaaa... Nggak juga. Sepanjang nonton, ngakak-ngakak, pasti. 'Pemikiran' seperti yang tertulis itu tiba-tiba hinggap tanpa diminta.Â
Fyuuhh.. I love watching cartoon and animation movies!
----
*Sang Pencipta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H