Mohon tunggu...
Siwi Sang
Siwi Sang Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi Desa

Pengelola TBM Umahbukumayuhmaca, penulis buku tafsir sejarah GIRINDRA Pararaja Tumapel Majapahit, dan Pegiat Literasi Desa.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Desa Literasi di Festival Bonorowo Menulis 2015

19 Oktober 2015   18:14 Diperbarui: 19 Oktober 2015   18:32 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desa Literasi menjadi topik sangat menarik di hari pertama Festival Bonorowo Menulis [FBM] 2015, Jumat kemarin, 9/10. Setelah salat Jumat, panggung utama FBM 2015 di pelataran kampus Universitas Tulungagung berlangsung acara Talkshow dengan tema Desa Literasi. Membedah persoalan mulai Kearsipan, Museum Desa, penyusunan Sejarah Desa, dan Galeri Desa sebagai sekolah apresiasi karya seni.

Sebelum mulai Talkshow Desa Literasi, panggung utama FBM 2015 dihangati penampilan musik Jazz dari Komunitas Jazz Tulungagung [KJT]. Disusul kemudian Adew Habtsa dari API Bandung Jabar naik panggung tampil bareng KJT. Penulis buku MENJADI BANGSA PEMBACA itu mengalirkan musikalisasi puisi karya Nirwan Dewanto, Chairil Anwar,  dan karyanya sendiri. Sekitar satu jam, kolaborasi musik JAZZ  dari KJT dan Puisi Adew Habtsa menghangati hari pertama FBM 2015 yang diselenggarakan Sanggar Kepenulisan Pena Ananda Club Tulungagung bersama para Relawan. Selesai tampil, mereka bersama menyimak panggung utama saat mulai Talkshow Desa Literasi.

Tampil 4 narasumber di panggung utama FBM 2015 yaitu Drs. Haryadi pengelola Museum Wajakensis Tulungagung, Silan Baidowi dari Badan Perpustakaan, Dokumentasi, dan Kearsipan [BPDK] Tulungagung, Suprapto anggota BPD sekaligus salah seorang anggota Tim Penyusun Sejarah Desa Panjerejo kecamatan Rejotangan, Tulungagung, dan Widji Paminto Rahayu pemilik WI-DJI fine art GALERY sekaligus pendiri komunitas lukis BONOROWO Tulungagung. Acara yang berlangsung sekitar 2 jam itu dimoderatori Aris Thofira Relawan FBM 2015 mahasiswa IAIN Tulungagung.

Arsip Hilang, Aset Melayang

Dalam Talkshow terbuka yang diikuti para komunitas pengisi stan pameran FBM 2015 dan pengunjung itu, Silan Baidowi menekankan pentingnya Arsip. Menurutnya, jika Arsip hilang, maka akan banyak asset yang melayang. Banyak terjadi kasus sengketa yang kalah, katanya, karena pihak yang kalah itu kurang memiliki catatan arsip dan dokumentasi. Beberapa sekolah inpres di Tulungagung lepas dari pihak ketiga yang menggugat Pemkab. Itu terjadi karena pihak Pemkab kurang memiliki bukti atau arsip kepemilikan sekolah sekolah tersebut sebagai asetnnya.

Silan Baidowi menyampaikan, sesuai UU no 43/2009, yang dimaksud arsip adalah rekaman bukti kegiatan dalam bentuk media apapun sesuai dengan perkembangan informasi dan teknologi sebagai pendukung kegiatan suatu organisasi baik politik maupun pemerintahan.

Menurut Silan, arsip adalah rekaman jejak. Tanpa ada kegiatan, maka siapapun tidak dapat menciptakan arsip. Arsip tidak dapat direkayasa. Karena arsip sifatnya tunggal, ketika hilang, maka akan menimbulkan suatu masalah.

Kemudian Silan Baidowi bercerita masalah arsip dalam peristiwa Tsunami di Aceh. ''Andaikan arsip nasional tidak dapat menyelamatkan arsip arsip yang ada di sana, mungkin di Aceh terjadi perang saudara terutama masalah arsip yang menyangkut pertanahan. Alhamdulillah, arsip yang bercampur tanah dan lumpur, berkat bantuan alat dari Jerman, arsip arsip itu dapat diselemamatkan. Sehingga ketika Tsunami reda, hak milik pertanahan tidak ada masalah berarti,'' ungkap Silan.

Silan Baidowi mengungkapkan pula kasus Reyog Ponorogo yang pernah diklaim Malaysia. ''Itu karena kita tidak punya pendukung arsip dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa kesenian Reyog milik kita. Ini menjadi tugas kita terutama generasi muda ikut bersama menjaga segala kekayaan tradisi nusantara tidak diklaim negara lain. Kita harus mengarsipkan atau mendokumentasikan sebagai bukti kepemilikan kita,'' ungkapnya.

Sebagai upaya penelusuran Arsip yang ada di masarakat, baik berupa poto atau dokumen lain, ahir tahun ini Badan PDK Tulungagung berencana mengadakan lomba poto dan dokumentasi Tulungagung dari masa ke masa atau masa sebelum dan setelah merdeka. Harapannya, menurut Silan Baidowi, hasil lomba itu menjadi Literasi atau reverensi bagi generasi sekarang supaya lebih mengetahui fakta kesejarahan Tulungagung.

Saat menyinggung upaya membangun Desa Literasi melalui pendokumentasian atau pengarsipan sejarah desa di Tulungagung. Silan Baidowi mengungkapkan, belum lama ini Badan PDK Tulungagung ketika masih berbentuk kantor, telah mengedarkan permintaan kepada seluruh desa untuk menuliskan sejarah di desa masing masing. Sudah sekitar 98 persen.. ini sedang persiapan untuk cetak. Setelah menjadi buku, semua desa akan menerima. Diharapkan generasi muda dapat mengetahui fakta berita sejarah di desa masing masing.

Perihal penulisan Sejarah Desa, di Tulungagung ada satu desa yang sudah berhasil menyusun buku Sejarah Desa dan ditulis oleh warga desa bersama sejarawan yaitu Desa Panjerejo kecamatan Rejotangan, Tulungagung. Suprapto, salah seorang anggota tim penyusun buku Sejarah Desa Panjerejo tampil sebagai satu narasumber Talkshow Desa Literasi Jumat kemarin.

Dari paparan Silan Baidowi tersebut, Aris Thofira berpendapat, lewat kearsipan, sebuah sejarah akan mengabadi. Membangun Desa Literasi melalui Arsip dan Dokumentasi, menurut Aris, akan menguatkan jati diri desa.

Museum Desa

Selanjutnya Drs. Haryadi tampil memaparkan persoalan peninggalan purbakala di Tulungagung dan permuseuman termasuk Museum Desa. Pengelola museum Wajakensis Tulungagung itu menyampaikan pendapatnya terkait Tulungagung. Menurutnya, dalam hal peninggalan cagar budaya, Tulungagung tergolong luar biasa. Hampir tidak tertandingi oleh daerah lain. Cuma penanganannya masih sangat perlu ditingkatkan.

Haryadi menyampaikan, di museum Wajakensis, terdapat 110 peninggalan arkeologi yang belum tertata rapi karena tempatnya tidak representative. Dan ada 130 peninggalan arkologi dari masa Bonorowo yang berbentuk teknologi alat pertanian dan perikanan. ''Dan masih banyak lagi peninggalan di desa desa seluruh Tulungagung yang belum tertangani. Kami telah mendata di beberapa kecamatan dan mereka kawatir jika barangnya didata. Karena kurang sosialisasi kita kepada warga masarakat yang menyimpan artefak atau peninggalan purbakala masa lalu,'' ungkapnya.

Oleh karena itu, Haryadi mendukung ketika acara FBM 2015 menampilkan satu acara yaitu Talkshow Desa Literasi yang antaranya menumbuhkan greget  bagaimana desa memiliki museum untuk mengumpulkan menginventarisasi data desa desa di Tulungagung.

Pengelola museum Wajakensis Tulungagung sekaligus Koordinator BPCB Tulungagung dan Trenggalek itu menyampaikan, ada sekitar 13 situs di Tulungagung dalam bentuk cagar budaya candi dan goa yang sudah terdaftar dan diarsipkan di BPCB Trowulan serta sudah diregistrasi oleh Dirjen Kebudayaan Pusat. Sementara yang satunya ditambah dengan museum Wajakensis Tulungagung. Dengan demikian ada 14 cagar budaya di Tulungagung. Sedang satuannya, hampir 500 cagar budaya.

''Ini menjadi tantangan bagi Badan PDK Tulungagung untuk mendokumentasikan agar informasi tentang sejarah Tulungagung tidak hilang dari peradaban,'' tegasnya.

Haryadi juga menyampaikan, bahwa seluruh kecamatan di Tulungagung memiliki peninggalan cagar budaya. Menurutnya, peninggalan itu perlu diungkap lagi karena dari total keseluruhan, masih ada sekitar 30 persen yang belum teregistrasi. Itu terjadi antaranya karena dana pemerintah yang kurang. Kemudian petugas ahli cagar budaya yang belum mumpuni.

Sejak tahun 1996, tercatat hampir 500 satuan cagar budaya yang ada di Tulungagung. Pada kesempatan itu, Haryadi tidak yakin, jika pada tahun ini sejumlah itu masih utuh. Pihaknya sudah mengecek ke beberapa kecamatan, dan menemukan ada artefak artefak bukti bukti sejarah yang sebelumnya tercatat di BPCB Trowulan, telah hilang. Seperti di wilayah kecamatan Rejotangan, dari 52 satuan cagar budaya, ada 2  yang hilang.

Terkait peran Museum, Haryadi memaparkan, berdasarkan PP NO 19/1995, museum memiliki fungsi sebagai tempat pelestari dan sebagai sumber informasi. Dari dua fungsi tersebut, museum memiliki tugas menyimpan, merawat, mengamankan, dan memanfaatkan koleksi museum baik berupa benda cagar budaya maupun yang bukan benda cagar budaya.

Sebagai sumber informasi, barang barang di museum sebelumnya harus ada penelitian dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Misal di museum desa terdapat kukusan peninggalan seorang tokoh desa yang benda itu memiliki nilai sejarah. Sebagai sumber informasi, penyajian informasi di museum itu harus akurat datanya. Tidak boleh direkayasa. Karena informasi di museum bersifat arsip.

Apa yang disampaikan Haryadi, segayung dengan yang sebelumnya disampaikan Silan Baidowi dari badan PDK, bahwa arsip tidak boleh direkayasa. Informasinya sesuai dengan apa adanya.

Sementara itu, bagi desa desa yang ingin merintis pembentukan museum, Haryadi menyarankan supaya mereka harus memerhatikan kedudukan museum. Berdasarkan kedudukannya, menurut PP no 19/1995, museum ada tiga, nasional, propinsi, dan daerah.

Museum Daerah atau local merupakan museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan benda yang berasal, mewakili, dan berkaitan dengan bukti material manusia dan lingkungannya dari wilayah kabupaten dimana museum itu berada. Menurut Haryadi, Museum Wajakensis Tulungagung akan menjadi salah manakala semua atau sebagian koleksinya berasal dari daerah lain.

Adapun Museum Propinsi, yaitu museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan buki material manusia dan lingkungannya dari wilayah propinsi dimana museum itu berada. Contohnya museum Majapahit Trowulan, tentang info majapahit. Museum Mpu Tantular di Surabaya.

Sedangkan Museum Nasional contohnya Museum Gajah, Jakarta.

Terkait Museum Desa, Haryadi menyampaikan, harus ada undang undang baru yang mengatur secara kusus. Sebagaimana diketahui, di Indonesia ada satu museum desa yaitu museum Naladipa desa Dermaji, Banyumas, Jawatengah. Itu karena di daerahnya belum ada museum, jadi desa Dermaji merintis pembentukan museum.

Lalu bagaimana dengan Tulungagung yang sudah punya museum daerah. Haryadi berpendapat bahwa Tulungagung perlu ada museum desa. Alasannya, banyak peninggalan purbakala dan nenek moyang dulu yang belum tersimpan atau terakomodasi di museum Wajakensis. Haryadi berharap semua itu dapat dikumpulkan, dikelola, dirawat, diinventarisasi, diawetkan di desa masing masing atau di tiap kecamatan. Sehingga akan menambah suasana cagar budaya Tulungagung yang luar biasa.

''Selain itu juga untuk mendorong pemerintah Tulungagung untuk berupaya membangun museum yang representative. Karena tidak mungkin kita bisa mengumpulkan benda benda yang tersebar di desa desa seluruh Tulungagung,'' kata Haryadi Pamungkas.

Sebelum mengahiri paparannya, Haryadi kembali menegaskan, untuk membantu pemerintah dalam hal mengumpulkan, merawat, menyelamatkan, mendokumentasikan artefak dan menyampaikan informasi kepada masarakat terutama generasi sekarang, maka Museum Desa sangat diperlukan.

 

POTO; HUSNIATI SALMA DAN YULI wicaksono [RELAWAN FBM 2015]

-------------

SIWI SANG

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun