Musik bersifat universal, yang berarti musik bisa diterima orang tanpa memandang asal negara dan budaya musik itu diciptakan. Musik juga memiliki banyak manfaat, yang salah satunya adalah menghibur hati dan menenangkan pikiran atau jiwa. Saya merasakan sendiri manfaat musik yang satu ini. Di kala sedih, mendengarkan musik rohani atau musik populer berirama cepat penuh semangat sambil mendendangkan liriknya tak pernah gagal membantu saya melepaskan kepenatan pikiran dan kesesakan hati. Lega rasanya, walau bukan berarti masalah yang dihadapi lenyap begitu saja. Persoalan masih ada, tapi setidaknya pikiran dan hati saya tidak lagi "sumpek" sehingga masih ada peluang untuk mencari solusi yang baik dari persoalan itu. Sebaliknya, di kala senang, ikut menyanyikan lagu favorit bersama si penyanyinya juga mampu untuk memperbesar rasa senang di hati.
Di era modern yang serba digital dan teknologi sekarang ini saja, peran musik masih begitu besar dan penting. Apalagi di zaman dulu kala, di kala Candi Borobudur sedang gencar dibangun. Itu berarti sekitar tahun 800-an M atau malah masa sebelumnya, ketika hiburan pelipur hati ragamnya tidak sebanyak sekarang. Tentu saja, peran musik dalam menghibur orang-orang di masa itu jauh lebih besar daripada sekarang, Atau bisa jadi, musik adalah satu-satunya hiburan saat itu. Saya bisa membayangkan bagaimana masyarakat di sekitar Borobudur di masa itu suka berkumpul setiap malam hari setelah seharian bekerja keras. Mereka berkumpul untuk memainkan musik bersama-sama. Dengan bermain musik atau setidaknya mendengarkan musik, mereka melepaskan penat tubuh mereka. Hati mereka menjadi tenang dan ringan, untuk setelahnya mereka bisa beristirahat dengan lebih tenang menyongsong hari esok.
Tidak hanya menghibur hati, di masa itu ternyata musik memiliki fungsi lain yang lebih sakral. Menurut pemaparan Mbak Nurkotimah MA, selaku pembicara kedua di Seminar Online Sesi-2 Sound of Borobudur Hari Ke-2 yang ditayangkan secara langsung pada 8 April 2021 lalu melalui kanal YouTube Sound of Borobudur, musik di masa Borobudur berdiri memiliki tiga peran penting: untuk upacara keagamaan dan pemujaan, untuk hiburan (pertunjukan atau suguhan gladen senjata), dan terakhir digunakan para seniman untuk mencari nafkah.
Maka, tak begitu mengherankan apabila pada panel dinding Candi Borobudur terdapat relief alat musik yang sedang dimainkan. Namun, yang mencengangkan adalah bahwa alat-alat musik yang terpahat di sana bentuknya beraneka macam, yang meliputi semua bentuk alat musik modern, yaitu idiophone (alat musik pukul), aerophone (alat musik tiup), cordophone (alat musik petik), dan alat musik membranophone. Selain itu, bentuk alat-alat musik itu memiliki kemiripan dengan alat-alat musik yang ada di lebih dari 40 negara di dunia dan di 34 provinsi di Indonesia.
Adalah Teh Tri Utami, Bli Dewa Budjana, Kang Purwacaraka, dkk melalui Sound of Borobudur Movement yang memperkenalkan pengetahuan tersebut. Di awal April lalu, setelah berhasil mereplika semua alat musik yang terpahat di panel-panel dinding candi, mereka pertama kali membunyikannya di depan publik secara luas.
Dalam Seminar Online Sound of Borobudur, dengan adanya kesadaran baru akan beraneka ragamnya alat musik yang dulu ada di masa Borobudur, terlontar pernyataan-pernyataan seperti "Borobudur pusat musik dunia", "belum ada kepastian apakah Borobudur adalah tempat berkumpulnya orang-orang dari banyak wilayah sehingga terjadi pertukaran budaya (dalam hal ini alat musik) atau apakah Borbudur adalah tempat penyebaran budaya melalui alat-alat musiknya ke berbagai wilayah di Indonesia atau dunia".
Pernyataan kedua tadi tentang apakah Borobudur adalah tempat berkumpul atau tempat menyebarnya berbagai budaya, sebenarnya bisa dijawab dengan menelusuri lebih jauh alat-alat musik dari negara lain yang punya kemiripan dengan alat musik yang tergambar di relief candi. Dari video presentasi yang ditayangkan di Seminar Online Sound of  Borobudur Sesi 3, kita bisa melihat ada sekitar 40 jenis alat musik yang memiliki kemiripan. Yaitu, Ranat Ek (Thailand), Balafon (Gabon), Marimba (Kongo/Tanzania), Ghatam (India), Mridangam (India), Udu (Nigeria), Bo (China), Bhusya (Nepal), Small Djembe (Mali/Afrika Barat), Traditional Drum (Srilanka), Muzavu (Tamil), Afrikan Drums, Tabla (India), Conga (Amerika Latin), Pipa (China), Setar (Iran), Oud (Arab Saudi), Biwa (Jepang), Lute (Inggris), Ud (Turki), Bowed String (Italia), Dombra (Kazakhstan), Ngombi (Algeria), Sakota Yazh (Tamil), Kora (Gambia), Ekidongo (Uganda), Saung Gauk (Myanmar), Zeze/Lunzenze (Kenya), One String Zither (Peru), Kse Diev (Kamboja), Kwere (Tanzania), Sheng (China), Saenghwang (Korea), Sho (Jepang), Traditional Flute (Eropa), Bansuri (India), Medieval Flute (Jerman), Daegum (Korea).
Sebagai orang awam yang tidak berkecimpung di dunia arkeologi ataupun sejarah, saya hanya mencoba menelusuri sejarah alat-alat musik itu lewat mesin pencari google. Namun, penelusuran saya ini difokuskan lagi ke alat-alat musik dari Asia Timur (China) dan Asia Selatan (India), karena menurut Bapak Drs. M. Dwi Cahyono M.Hum selaku pembicara ketiga di Seminar Online Sesi 2, Nusantara dari zaman dulu sudah mendapat pengaruh besar dari negara-negara di Asia Selatan (terutama India) dan di Asia Timur (terutama China). Maka itulah, saya lebih berusaha mencari tahu lebih banyak tentang alat-alat musik dari kedua negara tersebut yang memiliki kemiripan dengan alat musik yang ada di Candi Borobudur. Berikut hasil pencarian saya:
Ghatam (India). Kata Ghatam ini berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti bejana. Ghatam sebagai alat musik pertama kali digambarkan oleh Resi Walmiki dalam syair kuno Ramayana, yang berusia kira-kira 500 M. Bunyi ghatam ketika dimainkan juga pernah digambarkan dalam beberapa teks berbahasa Sanskerta lainnya yang berisi tentang ritme dan musik, termasuk teks berbahasa Tamil Silappatikaram dari periode yang sama (sekitar 500 M).
Mridangam (India). Mridangam adalah alat musik India kuno dan kemungkinan berusia ribuan tahun. Asal-usul pastinya tidak diketahui, tapi alat musik ini berperan penting di banyak cerita tentang dewa-dewi dan tergambar di lukisan-lukisan dan arca-arca yang berasal dari masa 200 SM. Mridangam ini adalah salah satu alat musik perkusi tertua India, yang berasal dari masa 2000 tahun lalu.
Pipa (China). Teks-teks China yang paling awal menyebutkan alat musik ini berasal dari masa Dinasti Han di sekitar abad ke-2 (atau tahun 200 M). Pipa mencapai puncak popularitasnya selama Dinasti Tang, dan merupakan alat musik utama dalam kekaisaran. Alat musik ini bisa dimainkan sebagai alat musik tunggal atau sebagai bagian dari orkestra kekaisaran untuk digunakan dalam pertunjukan seperti daqu, pertunjukan tari dan musik.
Sheng (China). Sheng adalah salah satu alat musik China tertua. Gambar-gambar yang menampilkan alat musik yang mirip Sheng berasal dari masa 1100 SM, tapi alat musiknya itu sendiri berasal dari Dinasti Han (periode 206 SM--220 M). Sheng ini dibawa ke Rusia pada tahun 1770-an untuk menginspirasi penciptaan alat-alat musik Eropa seperti akordeon dan harmonika.
Dari keempat alat musik yang ditelusuri tersebut, kita bisa melihat bahwa kesemuanya berasal dari masa sebelum masa Borobudur. Masa Borobudur itu sendiri adalah sekitar abad ke-7 dan ke-8 atau tahun 700 M dan 800 M. Jadi, kita bisa memastikan bahwa Borobudur sesungguhnya adalah tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai wilayah di luar Jawa. Mengutip pernyataan Prof. Melanie Budianta, Borobudur adalah sentra persilangan budaya yang dinamis dan inklusif karena di sana terdapat jejak dinamika lintas budaya (persilangan pengaruh dari belahan Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan) -- menembus batas-batas negara-bangsa.
Kenyataan sejarah tentang Borobudur ini membuat saya merenung: Nusantara yang terletak di garis khatulistiwa ini memang sudah nalurinya menjadi tempat persinggahan orang-orang dari berbagai tempat yang dekat maupun yang jauh. Dengan adanya orang-orang yang singgah, kemungkinan besar ada sebagian dari mereka yang kemudian menetap dan berasimilasi dengan orang-orang lokal. Kebudayaan-kebudayaan daerah di seluruh Nusantara ini mungkin bisa dikatakan tidak seratus persen murni kebudayaan lokal. Pasti ada sepersekian persennya yang terpengaruh dari kebudayaan luar. Dengan kata lain, Nusantara adalah sebuah wilayah yang masyarakatnya heterogen sejak ratusan tahun silam. Itu merupakan jiwa Nusantara. Naluri Nusantara. Dan Nusantara itu adalah Indonesia di masa sekarang. Jadi, mengapa ada orang-orang Indonesia di masa kini yang menginginkan Indonesia menjadi seragam dalam hal beragama dan berbudaya? Tidak sadarkah mereka bahwa Tuhan memang sudah menggariskan Indonesia sebagai tempat berdiamnya orang-orang dengan beragam latar (budaya, suku, agama, dan hal-hal berbeda lainnya)? Tidak sadarkah mereka bahwa tuntutan mereka untuk menyeragamkan Indonesia sama saja artinya dengan melanggar "takdir Tuhan"?
Indonesia adalah negara heterogen. Itu harga mati, karena itulah jiwa Indonesia yang sesungguhnya. Wonderful Indonesia.
Sumber Data:
https://en.wikipedia.org/wiki/Pipa
https://en.wikipedia.org/wiki/Sheng_(instrument)
https://www.britannica.com/art/sheng-musical-instrument#ref892018
https://www.ipassio.com/hobbies/percussion-instruments/ghatam
https://www.ipassio.com/hobbies/percussion-instruments/mridangam
Video Seminar Online Sesi 2 dan 3 Sound of Borobudur di Kanal YouTube Sound of Borobudur
Sumber Gambar
Gambar 1: https://japungnusantara.org/sound-of-borobudur/
Gambar 2: http://zoominindia02.blogspot.com/2017/01/indian-musical-instrument-ghatam.html
Gambar 3: https://bhavan.net/mridangam
Gambar 4: https://www.globaltimes.cn/content/1047405.shtml
Gambar 5: http://www.xinhuanet.com/english/2019-05/15/c_138060476_5.htm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H