"Gunung teu meunang dilebur,
Larangan teu meunang ditempak,
Buyut teu meunang dirobah"
(Pikukuh Baduy)
Pertama  kali mendengar nama kampung ini, pasti yang terbayang di benak Anda adalah kampung bergaya Tionghoa yang dipenuhi ornamen-ornamen Naga, atau bahkan ada Naga raksasa yang hidup di perkampungan ini? Jawabnya tentu saja tidak, Naga raksasa hanya ada di film animasi. Lalu, apa yang membuat perkampungan ini diberi nama Kampung Naga? Tentu saja karena letaknya yang berada di bawah jurang. Asal kata "Naga" itu sendiri berasal dari bahasa Sunda yaitu "Na gawir" yang artinya "berada di jurang".
Secara administratif, perkampungan ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Untuk sampai ke perkampungan ini pengunjung harus menuruni sekitar 300 anak tangga. Konon katanya, anak tangga yang terdapat di sana tidak diketahui pasti berapa jumlahnya, beberapa pengunjung yang datang seringkali menghitung dan hasilnya selalu berbeda. Masyarakat di sana pun juga tidak tahu pasti berapa jumlah anak tangga tersebut.
Perkampungan sejuk nan asri yang kental akan budaya dan adat istiadatnya ini menjadi daya tarik tersendiri untuk di eksplorasi. Seperti halnya budaya masyarakat Baduy, mereka juga sangat kuat dalam memegang adat istiadat dan menolak segala macam intervensi dari manapun termasuk dari pemerintah. Hal ini tidak lain hanyalah upaya untuk mempertahankan apa yang sudah mereka percaya sejak dulu.
Kata-kata pamali yang berbuah mitos dan pantangan ini terkadang menjadi lebih kuat posisinya ketimbang hukum adat setempat. Mitos dan pantangan yang dipercayai masyarakat Kampung Naga ini sebenarnya adalah representasi dari kearifan lokal Kampung Naga yang dikemas secara mistis agar tidak dilanggar. Lagi-lagi, ini hanyalah salah satu upaya untuk mempertahankan budaya yang ada.
PAMALI, "Tong kitu atuh, pamali."
Sudah sangat lumrah bagi masyarakat Kampung Naga untuk senantiasa selalu tunduk pada hukum adat setempat. Terlepas dari semua itu, pamali juga menjadi salah satu kiblat masyarakat Kampung Naga dalam berperilaku dan berinteraksi dengan alam sekitar. Seperti halnya pengertian kearifan lokal menurut Clifford Geertz pakar antropologi dari Amerika Serikat yang mengatakan bahwa, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Dalam hal ini, berarti pamali adalah salah satu representasi dari kearifan lokal di Kampung Naga.
Salah satu bentuk pamali di Kampung Naga adalah kepercayaan masyarakat Kampung Naga akan alam yang sarat dengan kekuatannya dalam mendukung keberlangsungan hidup setiap makhluk. Misalnya, pamali mengotori air sungai dengan sabun atau pamali mengambil ikan dengan racun karena ditakutkan alam akan marah dan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang sarat akan kemistisan. Beberapa masyarakat lokal yang menjadi narasumber saat diwawancarai pun selalu menyelipkan kalimat yang mengandung filosofi menyatu dengan alam, "Ingat!, kita bukan hanya hidup di alam, kita hidup bersama alam."
Leuweung Larangan, "Jangan masuk! Nanti celaka."
Tidak hanya pamali, mitos Leuweung Larangan atau hutan larangan juga menjadi salah satu daya tarik untuk dibahas. Pasalnya, tidak hanya pengunjung yang tidak diperbolehkan masuk ke dalam hutan tersebut, melainkan seluruh penduduk lokalnya juga dilarang masuk barang selangkahpun.
Menurut mitos yang beredar, hutan ini merupakan rumah bagi dedemit-dedemit jahat yang suka menggangu manusia dan jika dimasuki maka akan terkena kutukan-kutukan dari para dedemit penghuni hutan itu. Padahal jika ditilik dengan seksama, aturan ini sebenarnya merupakan bentuk kearifan untuk melindungi kelestarian hutan. Karena menurut warga setempat, jika hutan dimasuki oleh siapa saja, maka pohon-pohon akan habis dan hewan-hewan di dalam hutan akan terancam keberadaannya. Hal ini selaras dengan studi kasus pada masyarakat Kampung Naga yang dilakukan oleh mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan Sebelas April Sumedang, yang mengatakan dalam penelitiannya bahwa aturan yang melarang siapapun untuk masuk ke hutan ini merupakan suatu perwujudan dalam menjaga kelangsungan hidup mereka sendiri.
Salah satu contoh konkretnya adalah mereka tidak pernah merasakan kekeringan dan kekurangan air pada saat musim kemarau, saat musim penghujan tiba pun mereka tidak pernah mengalami kebanjiran walaupun mereka hidup di pinggir sungai. Hal ini mengindikasikan bahwa mitos Leuweung Larangan tidak hanya berhasil menjaga kelestarian hutan, tetapi juga sudah berhasil menjadi salah satu bentuk kearifan dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia.
Mitos jurig cai, penghuni Sungai Ciwulan
Mitos jurig cai ini sebenernya tidak hanya terkenal di lingkup masyarakat Kampung Naga saja, melainkan sudah menjadi mitos yang beredar di seluruh sungai di tanah Sunda. Di Kampung Naga sendiri terdapat Sungai Ciwulan yang membelah dasar lembah yang seolah memisahkan perkampungan penduduk dengan Leuweung Larangan. Mitos ini sebenernya agak selaras dengan salah satu pamali yang berkaitan dengan larangan mengotori sungai di sekitar perkampungan. Jika ada yang dengan sengaja mengotori sungai maka konon katanya penghuni sungai akan  marah dan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sebenarnya lagi-lagi, ini adalah suatu bentuk kearifan yang dibuat untuk selalu menjaga ekosistem sungai agar dapat dimanfaatkan dengan semestinya.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa semua mitos yang sarat akan kemistisan di Kampung Naga ini sebenarnya adalah representasi dari kearifan lokal guna menjadi dasar dalam mengatur masyarakatnya untuk berperilaku dan menyikapi lingkungan tempat tinggalnya, juga menjadi salah satu cara untuk mempertahankan adat istiadat setempat yang menjadi bentuk warisan budaya di Indonesia yang masih bertahan hingga saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H