Mohon tunggu...
Situn X
Situn X Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Seorang penghibur lepas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Situn: Kursi Istimewa

21 Januari 2012   07:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:37 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah azan subuh. Di Kamis pagi. Tulang rahang pemuda itu. Sepotong mayat pria tambun. Dua lubang menganga...........

Potongan-potongan gambar itu terus berputar di otaknya. Lagi dan lagi. Berputar-putar.

********

Di sudut lain kota itu. di dalam sebuah gedung, bertingkat, menjulang, bertumpuk kotak-demi kotak membentuk menara kubus raksasa.

Di atas sebuah kursi, hitam, berbalut kulit domba. Seseorang, menekan batok kepalanya ke bagian sandaran kursi. Pegasnya mengikuti tekanan dengan lembut. Kursi istimewa, dimpor khusus dari Jerman itu, memang istimewa.

Untuk beberapa saat dia merapatkan kedua katup kelopak matanya. Untuk beberapa saat masih belum terbuka. Kedua kakinya terlentang di atas meja. Tubuhnya berayun-ayun pada tumpukan busa yang terbalut kulit domba itu.

Tak ada sepotong gambarpun di otaknya. Semuanya berlapis bayangan, hitam pekat. Sementara hanya sekilas tersembur warna lain di sana. Merah, pekat yang mengental.

Bulir-bulir keringat merembes keluar melalui pori-porinya. Tubuhnya mulai tergoncang perlahan. Gemetar.

Jemarinya mencengkeram lengan kursi, kaku. Gemetar.

Semburan tinta merah di otaknya perlahan meyebar. Menyelimuti setiap sudut pikiranya. Tumpukan itu semakin jelas.

Potongan tubuh, irisan daging paha, patahan jemari berserak, beberapa buah kepala menggelinding, potongan-potongan kain berlapis darah, darah membanjir, mayat berserak.

Seolah seperti terpantul dari busur, badanya terangkat seketika. Berdiri, dengan kedua mata yang terbelalak. Lubang hidungnya terbuka, membesar, dengan potongan-potongan nafas yang tersengal.

Untuk beberapa saat dia belum tahu apa yang di pikirkan. Hanya berdiri membatu.

Sebelum akhirnya; ‘Kring...ring ... ring’ suara dering telepon itu membuatnya sadar di mana dia sedang berada. ‘Kring..ring..ring’ dering itu masih tetap menyalak. Tak tau apa yang harus dia lakukan.

Perlahan dia sadar harus mengangkat sebatang tongkat yang mengkatup di atas mesin telepon itu. Diraihnya penuh ragu. Sambil lalu menempelkan gagang itu di lubang telinga kirinya.

Suara lembut keluar perlahan. ‘Ma’af pak, sebentar lagi anda ada jadwal rapat. Dan sekarang waktunya minum obat. Pelayan akan mengantarkan dalam sesaat’ suara perempuan itu hangat. ‘Ada lagi yang bisa saya lakukan pak?’ tanyanya menambahkan.

Tak ada jawaban.

‘Pak... ma’af pak, bapak baik-baik saja’ suara perempuan itu mulai risau. ‘Pak...pak’ suaranya perlahan mengencang.

‘Iii...iya..’ suara laki itu berat dan terbata ‘Saya baik-baik saja. Cepat bawakan obat saya’  perintahnya.

Belum sempat mengedipkan mata, pintu itu sudah diketuk. Seorang wanita, berpakaian rapi, dengan tangan yang penuh pil dan segelas air, masuk dalam ruangan.

********

‘Hey..Tun...’ lengking suara itu ‘cepat pat kesini, jangan bengong saja’ omel Wiji dengan nada tinggi. ‘Sambalnya sudah jadi ni’ Wiji menimpal ‘nanti kamu mati kelaparan, repot jadinya’ tambah wiji menggerundal.

Sementara Situn masih tetap membatu, sebelum akhirnya sebatang lombok merah bersarang di jidatnya.

Situn tersadar. Lamunanya buyar.

‘Cepat sini, makan!’ perintah Wiji ‘Lihat badanmu hanya tinggal tulang. Nanti kalau gak laku, baru tau rasa! Jadi lonte itu harus berbadan sintal dan berdaging tebal, biar tamunya nyaman, kayak berada di atas bantal’ Wiji berteriak.

Situn perlahan melangkah. Seperti terprogram. Pandanganya terpaku pada kotak-kotak lantai yang kusam itu. menuju kea rah Wiji, dan duduk di sebelah cobek dan sambal. Bersimpuh. Lalu menyumpal ke lubang mulutnya, berbutir nasi dengan sambal. (21/01/12)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun