Berawal dari rencana Dinas Lingkungan Hidup Jakarta melakukan uji coba penarikan retribusi sampah di Jakarta pada Desember 2024. Asep Kuswanto, Kepala DLH DKI Jakarta menegaskan bahwa setiap rumah otomatis dapat terbebaskan penarikan jika memilah sampah sendiri atau paling tidak sebulan dua kali ke Bank Sampah.Â
Beliau pun memaparkan ada tiga kategori rumah yang akan diminta retribusi sampah tahun 2025. Retribusi ini berdasarkan klasifikasi daya listrik rumah (Sari, 2024).
Rencana retribusi sampah warga Jakarta (Sari, 2024):
Kelas miskin (450-900 VA): Rp 0 alias gratis
Kelas bawah (1.300-2.200 VA): Rp 10.000 per bulan
Kelas menengah (3.500-5.500 VA): Rp 30.000 per bulan
Kelas atas (6.600 VA ke atas): Rp 77.000 per bulan.
Selain itu, kegiatan usaha juga dikenakan retribusi berdasarkan skala fasilitasnya, yaitu kecil, sedang, dan besar sesuai dengan besaran daya listrik. Kepala DLH DKI Jakarta juga menyatakan bahwa proses pembayaran retribusi sampah ini akan dilakukan secara non-tunai (QRIS atau e-banking).Â
Asep menegaskan bahwa kebijakan itu bertujuan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Sistem retribusi itu didasarkan pada prinsip polluter pays principle atau 'siapa yang menghasilkan sampah, harus membayar pengelolaannya' (Sari, 2024).
Tanggapan Fraksi PKS DPRD Jakarta, Nabilah Aboe Bakar Al Habsyi terhadap rencana tersebut adalah menolak. Hal ini dijelaskan saat rapat paripurna di Gedung DPRD Jakarta meminta Pemerintah Provinsi meninjau kembali soal rencana penarikan retribusi sampah pada 2025. PKS berpendapat bahwa Pemprov sebaiknya meningkatkan pelayanan pengelolaan sampah terlebih dahulu dibandingkan menarik retribusi.Â
Fraksi PKS menilai sarana penunjang pengangkutan sampah di Jakarta juga belum merata dan optimal. TPS yang sering menumpuk karena kekurangan armada, dan kesejahteraan pekerja kebersihan yang ada di tiap wilayah harus diperhatikan. Perlu adanya pengangkutan sampah yang lebih humanis dan lebih modern serta ramah lingkungan seperti menggunakan gerobak motor (Janati dan Movanita, 2024).
Sesungguhnya, kebijakan DLH seperti itu sangatlah baik. Dosen senior kami di UGM saja membayar iuran sampah 100.000 rupiah/ bulan. Keluarga kecil kami di Palembang, dimana telah memilah sampah organik dan non organik sejak tahun 2014, juga selalu ikut membayar iuran sampah.Â
Bahkan sejak bulan November 2023, kami memberikan khusus untuk mobil sampah yang keliling di komplek perumahan kami 150.000 rupiah/ bulan hingga saat ini walaupun kami telah memilah sampah. Alhamdulillah suami tidak keberatan dengan hal itu.
Kelas atas (6.600 VA ke atas) berdasarkan rencana DLH Jakarta, akan dikenakan  Rp 77.000 per bulan. Padahal daya listrik di rumah kami adalah 4.400 VA, maka seharusnya kami hanya memberikan maksimal 30.000 rupiah per bulan, jika kami berada di Jakarta. Bahkan seharusnya kami tidak perlu membayar retribusi, sebab kami telah memilah sampah sejak lama ya... hehe. Padahal masalah sampah di Kota Palembang belum serumit masalah sampah di Jakarta.
Anggota Komisi D DPRD Jakarta Fraksi Gerindra Ali Lubis juga meminta DLH Jakarta membatalkan penarikan retribusi sampah. Ali menilai penarikan retribusi sampah merupakan bentuk pemerasan terhadap masyarakat kecil. Beliau mengatakan, seharusnya masyarakat diberikan edukasi atau sosialisasi atau bahkan diberikan reward atau hadiah berupa barang. Bukan dengan cara menarik retribusi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar peduli terhadap sampah seperti tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 Pergub 55 tahun 2021 tentang Pengurangan dan Penanganan Sampah.