Lembaran foto yang nampak kusam itu terjatuh ketika Daniella sedang bersih-bersih bufet. Dia bergegas memungutnya. Selarik cahaya sore merekah indah menerangi ruang tamu mungil itu. Maka Ella tanpa kesukaran apapun, bisa mengamati foto itu. Rupanya sosok itu. Sosok yang telah memberikan hanya tangis dan tangis, selama dia tumbuh sebagai batita, balita, dan anak TK. Seorang perempuan anggun dengan gaun wisuda sarjana. Ibu dari bayi bernama Daniella.
Ibu Daniella meninggal dunia ketika melahirkan Ella. Ayahnya enggan menikah lagi. Belum cukup pilunya, sewaktu usia Ella 5 tahun ayahnya kecelakaan saat melaut sehingga harus dipotong kedua kakinya. Musibah yang berawal ketika ayah Daniella dan rekannya akan mendarat setelah semalaman melaut di perairan Pantai Panjang Bengkulu. Sekitar 50 meter dari bibir pantai, mesin perahu tiba-tiba mati. Mereka yang sedang melakukan perbaikan, tak tahu mendadak ombak besar datang dan langsung menghantam perahu hingga terbalik. Keduanya tak mampu berkelit. Saat mereka berupaya menyelamatkan diri, ombak yang jauh lebih besar kembali menghantam perahu dan mengenai tubuh kedua nelayan itu.
Delapan tahun umur Ella sekarang. Secepat ombak berayun, secepat itu pula pribadi kecil itu berubah dewasa rupanya. Dia kini tak lagi banyak tangis, disyukurinya segalanya. Dia bersyukur ayahnya masih sanggup berjalan walau tak mampu bergerak cepat. Sekecil itu dia sudah telaten dan bersih saat mencuci baju, mampu memasak nasi dan lauk untuk makan dengan ayahnya, menyetrika, mengepel, bahkan membantu mengupas kelapa tua dengan sulak kelapa atau mata taji.
"Siang Ibu Rosy," sapa Ella ceria sambil meletakkan sepedanya di halaman rumah kenalan ayahnya yang memiliki usaha produksi kentang goreng coklat lumer. Ella sudah terbiasa bekerja sambilan membantu mencuci dan mengupas kentang setelah pulang sekolah. Ayahnya juga sudah dua tahun bekerja di situ.
"Siang, Ella manis," jawab Ibu Rosy ramah. "Oiya, besok Sabtu dan Minggu ikut saya mengecek dagangan di toko online ya." Ibu Rosy dan keluarganya sangat baik. Ella dan ayahnya banyak belajar dari Ibu Rosy. Usaha Ibu Rosy semakin besar hingga merambah ke jualan ikan bleberan goreng khas Bengkulu.
***
Pada suatu malam, Daniella bermimpi ada seorang anak dari masa depan datang kepadanya. Anak manis, berkacamata, dan lembut tutur katanya itu mengajaknya berwisata ke Kutub Utara. Namun dia tegas ketika bercerita tentang ajakannya. Dia berkata namanya Rachel. Rachel sedang memerlukan seseorang untuk suatu hal mendesak. Akhirnya Daniella menurut.
Rachel menyeret Daniella masuk ke RedVelvet, merk mobil terbang paling mahal pada masanya. Pada zaman itu, orang-orang kaya menaiki mobil terbang. Di dalam RedVelvet, sudah ada supir pribadi keluarga Rachel.
“Ke Kutub Utara ya, Sir.” pesan Rachel.
“Siap, Nona.” supir tersebut menjawab dan mulai menerbangkan mobil.
“Oya, teman Nona Rachel ini namanya siapa?”
“Salam kenal, Sir. Saya Daniella.” tutur Ella ramah.
“Salam kenal juga, saya Jeremy.”
“Oya Daniella, aku mengajakmu karena menurutku kamu orang baik. Kuharap kalau kamu tahu masa depan seperti apa, kamu bisa mengubah sesuatu menjadi lebih baik.” Rachel menjelaskan.
Setiba di sana, Ella terkejut bukan main, sudah ada yang menunggu. Satunya anak laki-laki, kemungkinan kakak Rachel, wajahnya mirip. Tapi, yang satu lagi adalah beruang!
Rachel sudah bercerita padanya di mobil bahwa meskipun masa depan itu banyak teknologi bagus tapi banyak kota-kota tenggelam karena perubahan iklim. Sumber air juga sulit karena banyaknya sampah, limbah, dan jelantah masuk ke sungai dan laut. Jelantah jika masuk sungai akan membentuk fatberg, membuat saluran air terhambat. Tak disangka, si beruang ikut-ikutan bercerita, bahwa biodiesel dari jelantah akan bisa mengurangi kecepatan mencairnya es di kutub.
Keesokan harinya Ella merasa kebingungan dengan mimpi itu sehingga dia menceritakannya pada Ibu Rosy. Ibu Rosy berpikir bahwa meskipun mimpi itu konyol sekali, tetapi sepertinya itu bukan mimpi biasa. Maka malam harinya Ibu Rosy menceritakan hal itu kepada suaminya ketika mereka makan malam bersama.
Awalnya Bapak Joni tertawa geli saat mendengarnya. Namun tak lama kemudian suami Ibu Rosy yang bekerja di Dinas Pekerjaan Umum itu bergumam. "Barangkali betul juga. Memang orang-orang Indonesia dianggap sebagai salah satu kunci keberhasilan penanganan perubahan iklim. Sebab jika program biodiesel dari sawit dijalankan, pasti akan mengorbankan lebih banyak lagi hutan. Memang lebih baik menggunakan jelantah untuk dijadikan biodiesel supaya tidak bersaing dengan sawit untuk bahan makanan.”
“Bahan bakar biodiesel ini diharapkan dapat mengurangi polusi dari BBM kendaraan bermotor saat ini, Bu. Besok aku coba diskusikan dengan kawan-kawanku di kantor ya. Barangkali ada yang bisa menanggapi dengan bagus." pungkasnya sambil tersenyum.
Ketika sarapan pagi, Ibu Rosy mengulang cerita tersebut pada kedua anaknya yang tidak sempat ikut makan malam bersama semalam.
"Wah unik banget Bu mimpinya!" seru Laila anak bungsu Ibu Rosy. "Pasti lucu kalau aku yang bisa ngobrol dengan beruang disana.. hahaha...."
"Hahaha iya Laila, nanti jangan-jangan kamu dikira anaknya beruang!" sahut Aden, kakak sulungnya yang walau laki-laki tetapi cerewet. Bapak Ibu mereka tertawa sehingga Laila langsung pura-pura cemberut.
“Yee... biarin! Yang penting imut dan cantik!” sambar Laila sambil menjulurkan lidah.
“Pede amat... siapa yang bilang?!” balas Aden sambil tertawa. Bapak Ibu mereka makin tertawa sambil menggeleng-geleng.
***
Siang harinya ketika Bapak Joni sedang istirahat makan siang di kantor, tiba-tiba dia teringat mimpi Ella. Kemudian dia menceritakannya pada beberapa rekan kerjanya yang sedang makan bersama di kantin kantor. Rekan-rekannya tertawa terkekeh-kekeh. Akan tetapi ada salah seorang yang sejurus kemudian tiba-tiba berhenti tertawa.
“Oiya Pak Jon, belakangan ini istri saya di rumah suka membuat repot. Dia hobi sekali mengumpulkan jelantah. Rumah kami jadi agak penuh di ruang garasi sebab dia letakkan botol-botol jelantah.”
“Betulkah Tino?” sahut Pak Joni. “Apa alasan istrimu melakukan itu?”
“Dia bilang ingin mengirimkannya ke Lampung, Pak. Ada teman kuliahnya dulu yang sekarang domisili di sana menceritakan kalau dia bisa menjual jelantahnya dengan harga 9.000 rupiah per kg. Makanya dia tidak lagi membuang-buang jelantah.”
Pak Joni terkejut. Demikian pula rekan-rekannya tertegun mendengar cerita Tino, pegawai baru di kantor tersebut.
“Tapi saya tidak tahu Pak, temannya itu menjual pada siapa, hehee...” cepat-cepat dia menambahkan supaya tidak ditodong pertanyaan dari rekan-rekannya.
“Informasi yang bagus sekali Tino. Kalau bisa nanti istrimu diminta untuk memberikan kabar tersebut kepada istri saya ya.” pinta Pak Joni. “Barangkali dia akan senang sekali mendengarnya,”
***
Keesokan harinya, Ibu Rosy telah selesai menggali banyak informasi dari teman kuliah Sinta. Istri Tino itu sangat kooperatif membantu Ibu Rosy. Selain dia sendiri menceritakan hal-hal yang dia ketahui, dia juga memberikan nomor HP Dewi, temannya yang di Lampung.
Ibu Rosy yang memiliki UKM (usaha kecil dan menengah) dan selama ini membuang banyak minyak sisa menggoreng, segera melakukan rapat dengan asisten dan semua karyawannya. Mereka berencana tidak hanya UKM mereka saja yang mengumpulkan jelantah, tetapi juga UKM lain.
"Alhamdulillah ajakan saya ini mendapatkan sambutan sangat baik dari banyak pihak, Ella." Ibu Rosy segera menceritakan semua hal tersebut pada Daniella.
"Ibu, boleh saya ikut membantu ya Bu?" tanya Ella penuh harap.
"Tentu saja Ella, bahkan kalau mau, ajaklah teman-teman sekolahmu untuk ikut menabung jelantah. Tapi kamu harus rajin mencatat beratnya jika mereka ingin dapat uangnya juga. Kecuali yang sukarela hanya ingin memberi sedekah jelantah." tegas Ibu Rosy sembari menepuk-nepuk pundak Ella.
***
Daniella semakin giat membantu Ibu Rosy. Dia menyebarkan brosur-brosur untuk menabung jelantah. Tidak hanya ke UKM dan sekolah-sekolah, dia bahkan berani mengajak ibu-ibu PKK untuk ikut berpartisipasi. Dalam waktu 4 bulan, dia mampu mengumpulkan jelantah hingga 2 ton sehingga mereka meraih bonus. Yaitu bisa mendapatkan harga khusus pengepul, 12.000 rupiah per kg jelantah.
Dia mengumpulkan jelantahnya kepada Bapak Fiki Aswandi di Lampung, yang kemudian mengirimnya lagi ke Jakarta untuk kemudian diekspor ke Eropa. Daniella memang dipercaya oleh Ibu Rosy untuk berkomunikasi langsung dengan bos pengepul itu.
"Semua ini berkat aku ya!" seru Aden berapi-api. Dia memang bertugas membantu mengantar Ella ke tempat-tempat yang menurutnya akan berkenan menjadi pengumpul jelantah.
Laila melongo. "Enak saja, Laila yang membuatkan brosur mini cantik yang harus dibawa kemana-mana," sanggahnya sambil berkacak pinggang.
Ella tersenyum geli. Dia sangat sayang pada dua 'kakak' ini. Walau hobi bertengkar, mereka sungguh baik.
Setahun kemudian, Daniella yang baru kelas 4 SD itu menjadi pengepul jelantah sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H