Mohon tunggu...
sitti sarifa kartika kinasih
sitti sarifa kartika kinasih Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

ibu rumah tangga yang ingin belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mading Riyo

18 Januari 2024   09:17 Diperbarui: 18 Januari 2024   09:20 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pinterest.com

“Bundaaa, gemes banget deh Riyo sama negara-negara Islam nih! Terutama Arab Saudi. Itu mereka punya rencana proyek-proyek supermewah prestisius begitu, tapi negara muslim saudaranya sendiri sedang dapat musibah genosida kok gak berusaha membela ya Bund?!” gerutu Riyo sembari matanya bergantian memandang kearah laptop di depannya dan kearah ibunya yang sibuk menyetrika.

“Iya Nak, bunda juga sama herannya, jadi gak bisa jawab ya...”

“Tapi Bund, ini korban meninggal sudah 24.000 orang lebih bundaaa, kok malah negara tidak kaya, bukan muslim mayoritas, yang malah berani menggugat Israel di Mahkamah Internasional?! Tidak masuk akal! Mereka hampir 80 persen orang Kristen loh Bund, Riyo baca-baca tadi, yang muslim cuma 1,5 persen. Malu Riyo jadi orang Indonesia!!” sambar Riyo yang masih kelas 4 SD itu.

Bundanya tersenyum sambil terus menyelesaikan setrikaan. “Nah, Riyo serius belajarnya, nanti jadi diplomat yang hebat supaya bisa ajak Indonesia membela Palestina di Mahkamah Internasional.”

“Yaelah Bund, kan sudah banyak orang-orang hebat Indonesia.” kilah Riyo.

“Kalau semua berpikir seperti Riyo, kenapa gak ada yang bergerak, barangkali memang semua yang sebetulnya punya kemampuan untuk membela, sedang merasa sibuk. Mereka berpikir, yang lain saja yang melakukan. Yang tersisa hanyalah yang belum punya kemampuan untuk berbuat seperti Afrika Selatan.”

Riyo garuk-garuk kepala. Tiba-tiba terdengar suara bayi menangis sehingga bundanya bergegas ke box bayi. “Nak, boleh minta tolong lanjutkan setrikaan bunda sebentar?”

“Enggak ah Bund, takut salah,” seru Riyo.

“Nah, jangan seperti itu... Riyo kan sudah besar. Dicoba sebisanya dulu. Ngetik pakai laptop saja mahir, masak belajar setrika masih belum mau...” rayu bundanya tidak menyerah. “Lihat anak Palestina yang kemarin itu, dia malahan mengurus adiknya yang masih batita tanpa orangtuanya lho. ”

Riyo masih belum bergeming, matanya masih bergerak mencari-cari berita tentang Palestina dan Israel.

“Riyo sayang, kemarin gimana kata ustadz... ridho Allah terletak pada ridho orangtuanya lho... siapa tahu Riyo kelak besar jadi diplomat hebat beneran dengan ijin Allah gara-gara Riyo baik banget sama bunda dan ayah...” bujuk bundanya lagi sembari tersenyum sangat manis dan mengangguk-angguk lucu.

Riyo akhirnya menekan tombol Sleep pada laptop bundanya dan bergerak dengan agak malas ke arah tumpukan baju bersih kusut yang tinggal sedikit itu.

***

Seminggu kemudian di rumah Riyo ramai sekali. Sore itu Riyo mengajak teman-teman sekelompoknya ke rumah untuk mengerjakan tugas mading sekolah. Roni yang hobi ngemil langsung membedah tasnya. Teman-temannya tertawa menatap banyaknya cemilan yang mengintip ingin segera keluar dari tas Roni.

“Roni, kita bukan mau piknik!” timpal Santi cekikikan sambil mengeluarkan kertas manila, karton dan kertas kado dari tasnya yang besar.

Deni terbahak-bahak sambil mengeluarkan lem tembak, biji-bijian, kertas origami, dan daun-daunan dari tasnya. “Bersyukur aja!”

Dhifa cekikikan sambil mengangguk-angguk setuju dengan komentar Deni. Tangannya sibuk mengeluarkan flashdisk berisi tugasnya membuat tulisan “PLTSa vs MASARO vs Tungku Sigit”. Dia mengulurkannya pada Riyo. “Riyo, ini tolong di-print dulu ya,” pintanya.

PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dinilai oleh profesor Akhmad Zainal Abidin, guru besar ITB pencipta MASARO (Manajemen Sampah Zero), beban subsidinya ganda. Menurutnya, pemerintah akan rugi besar. Sampahnya harus disubsidi, masih ditambah harga jual listriknya disubsidi juga. Berbeda dengan MASARO yang justru sampahnya memberikan keuntungan triliunan rupiah. Nah, saat ini sudah ada juga teknologi sederhana buatan seorang petani, Bapak Sigit Supriyadi yang diterapkan di Desa Taji, Magetan. Banyak yang datang belajar kepadanya, termasuk dari Bontang, Kaltim.

Awal mulanya, Bapak Sigit ingin membantu kiai pondok Temboro untuk mengatasi sampah dari pondoknya. Sampah pondok tidak diterima di tempat sampah desa sebab terlalu banyak. Puluhan ribu orang datang ke pondok itu karena Temboro merupakan pusat jamaah tablig di Indonesia.

Awalnya Pak Sigit membakar sampah pondok itu di lahannya. Beberapa minggu kemudian beliau mengundang penduduk untuk mengambil sampah yang bisa dijual, sisanya dibakar. Namun penduduk kapok. Hasilnya tidak memadai.

Akhirnya Pak Sigit membuat temuan baru. Beliau menyebutnya sebagai teknologi oksidator. Membakar sampah dengan sampah. Pak Sigit menciptakan tungku yang belum pernah ada. Lapisan luar tungku terbuat dari plat baja. Bagian dalamnya dua lapis bata. Satu lapis disusun miring, satu lapis lagi disusun telentang. Bata tersebut apabila dipanaskan, menjadi bata membara 1.300 derajat. Untuk awalan tetap pakai kayu, tetapi hanya 15 menit. Lalu sampah bisa dimasukkan. Kalau sudah ada suara letusan kecil, pembakaran dengan kayu bisa diakhiri. Di bagian bawah, dibuatkan semacam knalpot. Asap dari knalpot lebih sedikit dari asap orang merokok sehingga ramah lingkungan.

Pak Sigit memilih bata karena bata itu memancarkan panas. Umumnya orang pakai batu tahan api, tetapi Pak Sigit tidak mau, menurutnya batu menyerap panas. Barangkali keunikan itulah yang membuatnya dulu harus dikeluarkan dari SMA hingga 9 kali. Terlalu banyak mengoreksi gurunya.

 “Bagus Dhifa tulisanmu,” ujar Riyo dengan dahi terlipat-lipat. Teman-temannya tertawa geli. “Ah, kalian ini. Ohya, ini tulisanku. Simpel, gakpapa ya?” tanyanya ragu. Sejurus kemudian Ira justru memuji tulisan Riyo yang berisi opini pakar tentang Palestina.

Dr. Alain Gabon, seorang Associate Professor Studi Perancis dan Ketua Departemen Bahasa dan Sastra Asing di Virginia Wesleyan University, Amerika Serikat menjelaskan bahwa Israel telah melakukan bentuk hukuman kolektif. Menurutnya, ada 8 bentuk genosida Israel:

  • Bom warga Palestina tanpa pandang bulu
  • Membuat kelaparan, blokade pasokan makanan dan air
  • Menghancurkan infrastruktur medis
  • Penyebaran penyakit
  • Melakukan penggusuran paksa
  • Menghancurkan lingkungan di Gaza
  • Penghancuran struktur pemerintahan
  • Perang psikologis.

Menurut Dr. Alain, Israel telah memanfaatkan kesempatan ini untuk membawa genosida yang berjalan lambat, menuju tingkat kebrutalan yang baru.

“Ah iya memang! Aku dengar dari papaku kemarin juga parah beritanya. Sudah mencapai lebih dari 28.000 korban yang meninggal. Malah korban Israel menurun. Mereka meralat jumlah korbannya, ternyata tidak sebanyak yang mereka sebutkan pada tanggal 7 Oktober 2023 itu, 1.400 orang. Salah, ternyata 695 orang! Parah Israel nih,” seru Roni sembari sibuk mengunyah cemilannya, setelah usai membaca tulisan Riyo.

Mereka berenam segera sibuk membagi tugas membuat mading. Ada yang mencetak tulisan untuk mading, menggunting karton dan manila, menempel hiasan dengan kertas kado, membentuk hiasan dengan origami, menempel tulisan-tulisan yang telah di-print, serta menempelkan hiasan biji-bijian dan daun-daunan.

“Masih kurang tulisannya...” celetuk Dhifa beberapa saat kemudian. “Ohya, Ira, kamu belum keluarkan tugasmu ya?!”

Ira dengan malu-malu mengeluarkan sebuah tulisan tangan yang dibuatnya dengan guratan-guratan seni yang indah dan sudah diberi hiasan kertas kado. Tinggal ditempel ke karton mading. Santi merebutnya lalu membacanya keras-keras, membuat Ira bertambah merah padam pipinya.

“Jika ada seratus orang yang berjuang dalam kebaikan, pastikan kamu ada di dalamnya; jika ada sepuluh orang saja yang berjuang dalam kebaikan, pastikan kamu termasuk di dalamnya; bahkan jika hanya ada 1 orang yang berjuang dalam kebaikan, pastikan bahwa itu adalah kamu.”

“Bagus kok Ira. Kamu dapat darimana?” tukas Dhifa tak sabar.

“Ummiku yang beri usul,” jawab Ira singkat. “tetapi ummi tak ingat kata-kata itu didapat darimana...”

Deni dan Roni sontak terbahak-bahak. Riyo dan Santi tersenyum geli.

“Ya sudah, tak apa. Siapatahu ada guru atau teman kita yang tahu, bisa ditambahkan footnote, tentang siapa pembuatnya,” usul Dhifa. Teman-temannya pun setuju dengannya.

***

Masih tersisa tempat kecil di pojokan mading. Mereka berenam kebingungan mau diisi apa. Akhirnya mereka semuanya memilih untuk keluar rumah dan memandangi taman kecil di rumah Riyo sambil menikmati cemilan Roni. Mereka nampak kehabisan akal untuk mengisi ruang kecil di mading yang sudah nyaris sempurna itu.

Tiba-tiba bundanya Riyo mengejutkan mereka dengan kepala nongol keluar dari pintu rumah, “Eh, anak-anak! Bagaimana kalau kalian buat tulisan kecil tentang ajakan membuat resolusi? Nanti diberi contoh resolusi-resolusi kecil yang kalian berenam pikirkan...”

“Resolusi itu seperti apa Bunda?”

“Misalnya, tahun 2024 ini Riyo ingin jago ngomong bahasa Inggris. Atau Ira ingin khatam ngaji Al-Qur’an untuk pertama kalinya. Roni ingin pintar masak bermacam cemilan, Deni ingin jago olahraga basket, Santi ingin pintar bahasa Jepang, Dhifa ingin jago matematika, atau apalah. Terserah kalian.” jelas bunda Riyo.

“Yahhh.. malu Bund kalau yang macam gitu. Nanti tahun depan pasti ditagih dong sama anak-anak lain yang baca tulisan ini..” protes Riyo.

“Ehh, ide bagus itu Yo! Tinggal ditulis tanpa nama aja, kan bisa?!” timpal Santi dengan mata berbinar-binar.

“Oh iya, betul juga!” sahut Ira. “Makasih Tante, idenya!” Tangannya spontan membuat ‘toss’ dengan Santi. “Cus, kita eksekusi!”

***

Sitti Sarifa Kartika K.

Penyuka novel, cerpen, dongeng, dan suka dengan perkembangan ilmu lingkungan, wilayah, dan perkotaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun